SEPUTARTANGSEL.COM - Kasus tewasnya Brigadir J alias Brigadir Yosua di rumah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu masih meninggalkan banyak tanda tanya di benak publik.
Meski polisi telah menetapkan Bharada E atau Bharada Richard Eliezer sebagai tersangka kasus Brigadir J, tetapi hal ini tak lantas membuat publik percaya bahwa sopir Ferdy Sambo itu merupakan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Akibatnya, banyak spekulasi liar yang muncul di tengah-tengah masyarakat terkait kasus Brigadir J.
Sementara itu, Psikolog Forensik Reza Indragiri menduga pengungkapan kasus Brigadir J terkendala oleh sejumlah faktor nonteknis. Hal ini ia sampaikan dalam sebuah wawancara yang ditayangkan di salah satu televisi nasional.
Menurut Reza, Polri sengaja menutupi kasus Brigadir J sehingga kasusnya berbelit-belit.
Reza pun mengaku sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengenai adanya unsur psiko-hierarki dan psiko-politik dalam penanganan kasus Brigadir J.
Hal ini mengingatkannya kepada kode senyap, yakni subkultur menyimpang di mana sesama anggota Polri cenderung saling menutupi-nutupi kesalahan atau aib mereka.
Reza menyebut hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk meningkatkan solidaritas internal institusi yang dipimpinnya.
Menanggapi pernyataan Reza, Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun ikut buka suara.
Melalui kanal YouTube miliknya, Refly Harun meragukan apabila Listyo Sigit Prabowo tak tergabung ke dalam subkultur Polri.
"Tapi masalahnya apakah Sigit juga terlibat dalam subgrup atau called kelompok. Itu yang jadi persoalan," kata Refly Harun.
Menurut Refly Harun, kasus Brigadir J ini menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
Refly Harun menilai, apa yang disampaikan oleh Reza banyak diamini oleh masyarakat. Meski demikian, tidak semua orang bisa menjelaskannya dengan baik.
"Jadi yang paling mengkhawatirkan dari penegak hukum ini adalah kalau dia punya kecenderungan untuk melanggar hukum. Itu yang jadi masalah, dalam aspek apa saja," ujarnya, dikutip SeputarTangsel.com dari kanal YouTube Refly Harun pada Sabtu, 6 Agustus 2022.
"Terutama misalnya dalam aspek suap menyuap, dalam aspek justru melakukan tindak pidana. Kita kan tidak bisa berharap kalau penegak hukum terlibat dalam kejahatan tindak pidana, kemudian bisa diandalkan untuk membangun negara hukum Indonesia," sambungnya.
Mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, subkultur seperti sub-sub geng dan kelompok di dalam institusi Polri merupakan realita yang ada.
"Jadi kalau misalnya ada seorang Kapolri naik, maka orang menganalisisnya wah ini dari grup mana yang akan ikut naik dan ikut dalam rombongan tersebut," ujarnya.
Meski kemungkinan subkultur juga terjadi di institusi yang lain, tetapi menurut Refly Harun yang paling kentara terjadi di dalam institusi Kepolisian.
"Bahkan satu-satunya jabatan di mana Komisi III selalu mendatangi rumah calon Kapolri hanyalah jabatan ini. Jabatan lain tidak ada. Misalnya datang ke Panglima TNI, gak ada. Karena Kapolri powerful," ucapnya.
"Jadi polisi, Kapolri itu jauh lebih powerful, lebih dianggap penting barangkali oleh sementara kalangan karena dia bisa menjadi sumber apa saja," kata Refly Harun menambahkan.
Karenanya, menurut Refly Harun, tidak heran apabila publik merasa perlu agar para petinggi Kepolisian mengungkapkan seluruh pendapatannya kepada publik.
Baca Juga: Benarkah Putri Candrawathi Dilecehkan oleh Brigadir J? Komnas HAM Mengaku Belum Yakin
Pasalnya, pendapatan yang diberikan oleh negara dinilai tidak apa-apanya dibandingkan dengan jumlah harta kekayaan mereka.
"Karena pendapatan resmi dari negara tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan sumber-sumber lain yang barangkali justru didapatkan dengan melanggar hukum," tuturnya.
Mantan Komisaris Utama PT Jasa Marga (Persero) itu pun menyinggung berbagai isu liar yang menyeret nama Ferdy Sambo sebagai seorang petinggi kepolisian.
Ia menduga hal ini berkaitan dengan kasus tewasnya Brigadir J.
Meski demikian, Refly Harun enggan membahasnya secara detail karena belum terbukti kebenarannya.
"Isu itu berseliweran kemana-mana. Tidak terkait dengan sang Irjen, tapi juga terkait kelompok-kelompok lainnya," ujar Refly Harun.
Lebih lanjut, Refly Harun juga menyinggung kehidupan mewah para personel kepolisian yang sebenarnya tidak disediakan negara.
Ia bahkan mengaku heran dengan anggota polisi yang terlibat dalam urusan-urusan non kepolisian.
"Jadi tidak lagi urusan-urusan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya, tetapi urusan-urusan yang terkadang bernuansa lebih politik," tuturnya.
"Dalam musim … katakanlah demokrasi seperti ini, secara tidak sadar Polri dan TNI sering juga terlibat dalam urusan politik karena mereka paham betul kenaikan jabatan, kenaikan pangkat dan karier akan bergantung kepada bagaimana ikatan-ikatan politik mereka," sambung Refly Harun.
Karenanya, Refly Harun merasa tak heran apabila beberapa petinggi melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh politik untuk mendapat kenaikan jabatan.
Sayangnya, menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu hal ini tak kunjung dibenahi selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi.
Refly Harun mengatakan, kalaupun ada wacana pembenahan institusi penegak hukum, hal ini hanya sekadar lip service.***