Wacana Revisi UU ITE oleh Jokowi Timbulkan Polemik, Refly Harun Usulkan Negara Tidak Ikut Campur

- 22 Februari 2021, 19:40 WIB
Refly Harun.
Refly Harun. /Instagram.com/@reflyharun

SEPUTARTANGSEL.COM - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh Presiden Joko Widodo menimbulkan polemik.

Pasalnya, meski banyak pihak yang mendukung revisi beberapa pasal karet yang terkandung di dalamnya, tetapi ada juga beberapa yang ingin tetap mempertahankannya.

Pihak yang menolak berdalih bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah menolak gugatan terkait UU ITE sebanyak 10 kali.

Baca Juga: Pemerintah 'Potong' Jatah Cuti Bersama Tahun 2021 Menjadi Hanya 2 Hari, Ternyata Ini Alasannya

Baca Juga: Kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon Siap Jadi Perguruan Tinggi Islam Cyber Pertama di Indonesia

Terkait hal ini, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan bahwa meski gugatan UU ITE sudah pernah ditolak oleh MK, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih dapat memasukkan klausul putusan MK tersebut ke dalam revisi.

"Misalnya MK mengabulkan tentang presidential threshold bahwa presidential threshold tidak boleh diadakan, dihapus harus. Maka, kewajiban moral atau moral obligation anggota DPR ketika merevisi UU Pemilu adalah menihilkan, menghilangkan ketentuan tentang presidential threshold," kata Refly, seperti dikutip Seputartangsel.com dari kanal YouTube Refly Harun pada Senin, 22 Februari 2021.

Lebih lanjut, Refly Harun menyarankan agar implementasi UU ITE dapat sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.

Baca Juga: Minggu Ini Prakiraan Cuaca Jabodetabek Hujan Deras, Tapi Bisa Jadi Cerah, Ini Sebabnya

Baca Juga: Tok! Pemerintah Resmi Pangkas Cuti Bersama 2021 Jadi Hanya Dua Hari Saja, Ini Rinciannya

"Harusnya kalau saya mengusulkan, sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila kalau ada orang yang mengadu, ya temukan para pihak yang mengadu, damaikan, mediasikan, rekonsiliasikan, selesai," ucapnya.

"Kalau tidak bisa didamaikan dan tidak bisa direkonsiliasikan, maka silahkan yang bersangkutan misalnya diarahkan untuk melakukan gugatan secara perdata, sehingga tidak menggunakan tangan negara untuk memproses konflik di antara warga negara," sambungnya.

Menurut Refly Harun, subjek dari pasal penghinaan dalam UU ITE adalah orang, bukan jabatan atau institusi.

Baca Juga: Chun Li dan Ryu ‘Street Fighter’ Gabung di Fortnite

Baca Juga: Ketua dan Anggota KPU Periode 2012-2017 Belum Terima Uang Purnabakti, DPR Desak Pemerintah Segera Lunasi

Karenanya, UU ITE harus diletakkan secara proporsional karena selama ini banyak orang yang sulit membedakan antara penghinaan sebagai delik aduan, ujaran kebencian, provokasi, maupun berita bohong atau hoaks.

Kemudian, Refly juga setuju dengan pernyataan Fahri Hamzah bahwa sebaiknya negara tidak turut ikut campur kepada urusan antar warga negara.

Pasalnya, hal ini justru hanya akan merepotkan para penegak hukum dan akan disalahgunakan untuk memancing keributan sesama warga.

Baca Juga: Jokowi Sudah Tidak Dipercaya Rakyat, Rocky Gerung: Ini Sangat Berbahaya

Baca Juga: Diduga Ada Tindakan Korupsi Dalam Pembangunan Stadion Mandala Krida, KPK Periksa 6 Orang Saksi

Namun, menurut Refly pelaporan tetap bisa dilakukan sebagai hak warga negara apabila yang melaporkan adalah orang yang bersangkutan langsung dan memang menyebabkan gangguan ketertiban publik.

Berikutnya, Refly menjelaskan bahwa meski judicial review UU ITE sudah pernah ditolak oleh MK, namun bukan berarti hal tersebut menjadi legitimasi bahwa UU tersebut tidak dapat diubah.

"Karena dalam satu putusannya MK mengatakan 'Kendati UU itu dirasa buruk, tetapi kalau tidak inkonstitusional, tidak ada alasan untuk membatalkannya walaupun UU itu dianggap UU yang buruk.' Nah itu salah satu putusan MK pada waktu itu bicara mengenai kalau tidak salah presidential threshold, atau electoral threshold, atau parliamentary threshold," ujarnya.

Baca Juga: Perjalanan Kereta Api Jarak Jauh Dibatalkan Akibat Banjir, PT KAI: Pelanggan Bisa Refund Tiket

Baca Juga: Surat-Surat Kendaraan Ikut Jadi Korban Banjir, Polda Metro Jaya Kasih Solusi Nih

Refly mengatakan bahwa meski UU ITE dianggap buruk, belum tentu inkonstitusional menurut MK. Akan tetapi, konstitusionalitas terus bergerak.

"Apa yang kita anggap hari ini kontitusional belum tentu besok konstitusional pula. Dan MK sudah pernah memutuskan perubahan itu hanya dalam jangka waktu beberapa bulan," kata Refly.

Refly kemudian menjabarkan bahwa MK bukan legislator, tetapi hanya mengatakan bahwa produk UU bertentangan dengan konstitusi atau tidak.***

Editor: Harumbi Prastya Hidayahningrum


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x