Emansipasi Perempuan Belum Selesai Karena Tingginya Angka Perkawinan Anak

22 April 2021, 18:31 WIB
Ilustrasi /Sumber: Pixabay / Geralt-9301/

SEPUTARTANGSEL.COM – Walau sudah ada kemajuan tetapi pembatasan masih dialami banyak perempuan untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Salah satu hal yang terlihat dari masih tingginya jumlah perkawinan anak. Sejumlah lembaga menyebutkan bahwa satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia terlibat perkawinan anak.

Pada 2019, angka dispensasi kawin anak sebanyak 23.126. Bersumber dari Komnas Perempuan, angka ini meningkat tiga kali lipat menjadi sebesar 64.211 pada 2020.

Baca Juga: MPR Keheranan, Dalam Buku Sejarah Kemendikbud Ada Nama Mantan Narapidana Kasus Terorisme

Baca Juga: Perempuan Berperan Besar Dalam Pengembangan Sektor Digital

Menurut Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Nisaaul Muthiah, tingginya angka perkawinan anak menyadarkan bahwa emansipasi perempuan belum selesai.

Harus ada langkah nyata dari pelbagai pihak untuk meningkatkan emansipasi perempuan. Salah satunya dengan mencegah dan melarang perkawinan anak.

“Banyak anak perempuan yang dipaksa melakukan perkawinan karena faktor budaya, keterbatasan ekonomi, minimnya layanan publik, serta lemahnya penegakan hukum mengenai batas usia perkawinan,” katanya.

Baca Juga: Diduga Ada Unsur Pidana, Kasus Kebakaran Kilang Minyak Balongan Mulai Didalami Polisi

Baca Juga: Ketua MPR Kritik Kemendikbud, Dari Pendidikan Pancasila Hingga Kamus Sejarah

Perkawinan anak memiliki berbagai efek negatif baik itu pada anak, calon keturunan dan pada proses pembangunan negara.

Anak yang dipaksa kawin di usia anak akan kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak. Pasca perkawinan, status anak berubah menjadi istri. Anak secara tidak langsung dituntut untuk menjadi besar sebelum waktunya. Hal tersebut berdampak negatif bagi kondisi fisik dan psikis anak.

Perkawinan anak membuat anak kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah.

Baca Juga: TII: Kita Perlu Mendorong Reformasi Partai dan Inklusi Anak Muda

Baca Juga: Dashboard Vaksinasi Covid-19 Untuk Transparansikan Data

Sistem pendidikan saat ini tidak terbuka untuk anak yang telah melakukan perkawinan. 

Selain itu, perkawinan anak juga memicu tingginya angka kekerasan seksual dan perceraian.

Saat sang anak hamil, kehamilan yang terjadi pada anak secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting hingga kurang gizi.

Baca Juga: Menista Agama Hindu, Ormas Hindu Minta Desak Made Dharmawati Diusut

Baca Juga: Menteri Agama Menilai Menjaga Kesehatan Diri dan Bersama Hukumnya Wajib

Di sisi lain, proses kehamilan dan persalinan pada anak perempuan dan calon anak juga berpotensi lebih besar untuk mengalami kematian.

“Maka dari itu, Hari Kartini juga seharusnya menjadi momentum untuk melakukan upaya bersama untuk mengatasi permasalahan perkawinan anak,” kata Nisaaul Muthiah.

“Kemendikbud juga harus membuat kebijakan agar anak-anak yang terlanjur menikah dini tidak kehilangan kesempatan untuk dapat mengakses layanan pendidikan. Serta yang tidak kalah penting, pengadilan agama harus lebih tegas dan memperketat pengabulan dispensasi perkawinan,” tutupnya.

Editor: Ignatius Dwiana

Tags

Terkini

Terpopuler