Soal Investasi Miras, Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta Sarankan Uji Materi ke MA

- 1 Maret 2021, 21:45 WIB
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie. /Foto: Seputartangsel.com/HO/

SEPUTARTANGSEL.COM - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah menyarankan kepada pihak-pihak yang menolak izin investasi minumas keras (miras) agar mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Namun, semua pihak diminta menyadari bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2021 yang dipersoalkan ini merupakan perintah dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Penanaman Modal yang di antaranya mengatur mengenai investasi industri minuman keras telah menimbulkan polemik di tengah publik.

Baca Juga: Kafe Brotherhood Terancam Ditutup Permanen dan Dicabut Izin Usahanya

Baca Juga: FLO Diterapkan, Bayar Tol Tak Perlu Berhenti Bahkan Antre, Bisa Langsung Wuus

Demikian diungkapkan akademisi yang juga Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie.

Tholabi menuturkan, Perpres No 10 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Polemik Perpres No 10 Tahun 2021 ini merupakan konsekuensi dari proses penyusunan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dalam proses penyusunannya tahun lalu banyak disoal oleh publik," ujar Tholabi dalam keterangan tertulis yang diterima SeputarTangsel.Com, Senin 1 Maret 2021.

Baca Juga: Harga Rumah Turun Efek PPN Nol Persen Mulai 1 Maret, Begini Syaratnya

Baca Juga: Lagi, Beredar Video Syur Artis, Pelakunya Tertangkap Polisi Siber

Menurut dia, dampak nyata dari keberadaan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini memberi implikasi nyata dalam aturan turunan di bawahnya.

Ia membandingkan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melahirkan aturan turunan Perpres No 44 Tahun 2016 dengan UU No 11 Tahun 2020 dengan aturan turunan Perpres No 10 Tahun 2021.

"Dari dua aturan turunan tersebut terjadi perbedaan yang signifikan, khususnya dalam menempatkan industri minuman keras yang mengandung alkohol. Jika di Perpres No 44 Tahun 2016 masuk klasifikasi daftar bidang usaha tertutup, sedangkan di Perpres No 10 Tahun 2021, industri minuman keras mengandung alkohol masuk dalam kategori daftar bidang usaha persyaratan tertentu," papar Tholabi yang juga Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini.

Baca Juga: Penyebar Video Porno Mirip Artis Gabriella Larasati Ditangkap, Ungkap Raup Keuntungan Sampai Puluhan Juta!

Baca Juga: Investasi Miras Dilegalkan, Rocky Gerung Sebut Pemerintah Eksploitasi Rakyat

Dipaparkan, dalam Pasal 6 Perpres No 10 Tahun 2021 disebutkan semua jenis penanam modal diperbolehkan investasi di jenis usaha ini dengan persyaratan penanaman modal untuk Penanam Modal dalam negeri, persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing dan persyaratan Penanaman Modal dengan perizinan khusus.

"Persyaratan untuk penanaman modal di industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan oleh Kepala BPKM atas usulan gubernur," urai Tholabi.

Terkait Perpres No 10 Tahun 2021 yang juga disoal oleh sejumlah fraksi di DPR, Tholabi justru berpendapat, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengawasan dari DPR dalam penyusunan aturan turunan sebuah undang-undang.

Baca Juga: Lowongan Kerja di BUMN RNI Holding Dibuka Hingga 10 Maret, Ayo Daftar

Baca Juga: Jokowi Resmi Legalkan Miras, Said Didu Terang-Terangan Minta Wapres Ma'ruf Amin untuk Gunakan Kekuasaan

"Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR khususnya dalam urusan legislasi eksekutif sangat lemah. Padahal, penyusunan aturan turunan oleh eksekutif merupakan bagian tak terpisahkan dari kerja pemerintah yang harus diawasi oleh DPR. Ini amanat konstitusi," sebut Tholabi.

Kritik sejumlah fraksi di DPR terhadap Perpres No 10 Tahun 2021 menunjukkan kerja eksekutif dalam urusan legislasi khususnya dalam membentuk aturan pendelegasian yang notabene amanat UU tidak berjalan.

"Kami mendorong ke depan perlu diatur mekanisme pengawasan DPR secara rigid terhadap pemerintah dalam penyusunan aturan turunan dari sebuah UU," saran Tholabi.

Baca Juga: Kuota Internet Belajar Mulai Maret Lebih Kecil, Mendikbud: Fleksibilitasnya Lebih Tinggi

Baca Juga: Innalillahi, Kabar Duka Rektor Universitas Pamulang Dr. H. Dayat Hidayat, M.M Meninggal Dunia

Tholabi menambahkan, polemik Perpres No 10 Tahun 2021 ini harus tetap ditempatkan dalam perdebatan konstitusional, untuk mengurangi perdebatan publik yang kontraproduktif.

Ketentuan yang mengatur mengenai investasi di industri minuman keras, katanya, dapat diujimateri ke Mahkamah Agung (MA).

"Kami menyarankan perdebatan mengenai Perpres No 10 Tahun 2021 ini dapat diujimaterikan di Mahkamah Agung (MA). Meski, harus dicatat, keberadaan Perpres ini merupakan perintah dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ingat Tholabi.

Baca Juga: Vaksinasi Gotong Royong, Disediakan Perusahaan, Gratis untuk Karyawan dan Keluarganya

Baca Juga: KRL Jogja-Solo Gantikan Prameks, Jokowi: Ke Depan Transportasi Massal Harus Ramah Lingkungan

Mengenai substansi dalam Perpres tersebut, terutama mencermati reaksi kelompok agamawan atas terbitnya Perpres ini, Tholabi berpendapat ketentuan mengenai investasi di industri minuman keras yang mengandung alkohol agar ditinjau ulang oleh pemerintah.

"Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus berpijak pada filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Nah, dari perspektif tersebut Perpres No 10 tahun 2021 ini menimbulkan kontradiksi," tegasnya.***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

x