Pemerintah kemudian membentuk Tim Kajian UU ITE yang memiliki tugas untuk merumuskan kriteria pedoman implementatif atas pasal-pasal yang dinilai multitafsir.
Dalam menjalankan tugas, Tim Kajian UU ITE mengambil masukan dari berbagai pihak yang pernah menjadi pelapor atau terlapor untuk merumuskan sebuah pedoman dalam menjalankan ketentuan undang-undang tersebut.
Hemi menerangkan bahwa pembentukan Tim Kajian UU ITE dan juga perumusan pedoman merupakan bukti nyata bahwa pemerintah setengah hati untuk melakukan evaluasi terhadap produk perundang-undangan yang dikeluhkan masyarakat.
“Pembentukan dua sub tim dalam Tim Kajian UU ITE membuktikan bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin mencabut akar masalah dalam undang-undang tersebut. Bahkan, pembentukan sub tim perumus kriteria penerapan merupakan sebuah kekeliruan,” jelas Hemi.
Wacana revisi UU ITE mulai mencuat setelah Presiden Joko Widodo merencanakan untuk merevisi UU ITE tersebut jika undang-undang tersebut terbukti tidak mencerminkan keadilan bagi rakyat Indonesia.
Namun keputusan DPR untuk tidak menjadikan revisi UU ITE sebagai prioritas utama di tahun 2021 ini membuat citra pemerintah memburuk seolah pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk mempertimbangkan undang-undangan tersebut.
Baca Juga: Bulog Rencana Impor Beras, Petani Cirebon Curhat ke Ridwan Kamil Begini
“Pemerintah masih dapat memperbaiki kepercayaan publik dengan memasukkan RUU ITE hasil telaah Tim Kajian ke dalam daftar kumulatif terbuka. Dengan demikian, permasalahan dalam UU ITE, terutama terkait pasal-pasal karet, memang benar-benar dibersihkan dari hulunya,” sambung Hemi.***