Masa Jabatan Presiden Hanya Satu Periode Tapi Tujuh Tahun, Ternyata Banyak yang Sepakat

- 26 November 2020, 21:59 WIB
Ilustrasi survei CPCS
Ilustrasi survei CPCS /Foto: Dok CPCS/

SEPUTARTANGSEL.COM - Wacana Presiden menjabat hanya satu periode untuk masa jabatan selama tujuh tahun ternyata mendapat banyak dukungan.

Hal itu terungkap dalam survei yang dilakuan oleh Center for Political Communication Studies (CPCS).

"Mayoritas publik setuju perubahan ketentuan agar presiden menjabat cukup satu periode saja selama tujuh tahun," ujar Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK, dalam siaran pers di Jakarta pada Rabu, 25 November 2020.

Baca Juga: Prostitusi Artis dan Selebgram, Polisi Amankan HP dan Kondom

Baca Juga: Net TV Ajukan PKPU, Pailit?

Tri Okta menyebutkan, sebanyak 86,3 persen responden menyatakan setuju usulan perubahan masa jabatan Presiden itu. Sementara yang tidak setuju hanya 13,7 persen.

Ketentuan tentang masa jabatan presiden menarik untuk dicermati. Ketika zaman Orde Baru pernah ada amendemen terhadap UUD 1945 yang tidak membatasi periode presiden boleh menjabat.

Karena itu, Presiden Soeharto bisa berkuasa sampai 32 tahun.

Baca Juga: Empat Tahun Terakhir, 'Opung' Luhut Tak Kurang Empat Kali Rangkap Jabatan

Baca Juga: Wali Kota Depok, Mohammad Idris Positif Covid-19

Adagium bahwa kekuasaan cenderung untuk korup pun terjadi, menurut Tri Okta. 

Akibatnya Soeharto dilengserkan melalui gerakan reformasi yang menentang praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Arus demokratisasi menghasilkan desakan agar masa jabatan presiden dibatasi hanya boleh paling lama dua periode. Setelah itu tidak boleh lagi dicalonkan.

Baca Juga: Mengalahkan Mark Zuckerberg, Berikut Fakta Tentang Elon Musk

Baca Juga: Akademisi UGM Sarankan Pemerintah Melarang Reuni 212 yang Akan Digelar di Monas

Sejak amandemen itu, Indonesia memiliki dua presiden yang menjabat dua periode berturut-turut. Yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

Keinginan untuk meninjau kembali ketentuan tentang masa jabatan presiden tetap terbuka. Seperti sebagian pendukung Jokowi menginginkan batasan dua periode dihapus, diganti menjadi tiga periode.

Hal itu agar pembangunan yang sedang diletakkan tuntas dan bisa membawa Indonesia menjadi negara maju.

Baca Juga: Trauma, Meghan Markle Mengaku Keguguran

Baca Juga: Sempat Buron, Dua Tersangka Kasus Ekspor Benih Lobster Akhirnya Serahkan Diri ke KPK

Tetapi ada kalangan yang tidak setuju, menurut Tri Okta. Mereka mengkhawatirkan kecenderungan otoritarianisme jika pemimpin terlalu lama berkuasa.

Mereka bahkan ingin agar presiden cukup menjabat satu periode saja.

Dikutip Seputartangsel.com dari Antara, Tri Okta menuturkan, jalan tengah yang bisa menjadi kompromi adalah masa jabatan presiden dibatasi cukup satu periode saja tetapi lama periodenya diubah menjadi tujuh tahun.

Baca Juga: Syarat dan Cara Cek Bantuan Subsidi Gaji Rp1,8 Juta Bagi Guru Honorer dan Pendidik Non PNS

Baca Juga: Cukup dari Rumah, Bayar Pajak Bisa Secara Online, Begini Caranya

Dengan demikian, Presiden bisa punya cukup waktu untuk menyelesaikan program-programnya. Lalu tidak disibukkan untuk memikirkan bagaimana caranya maju mencalonkan diri kembali.

Akan tetapi perdebatan tentang konsep periode masa jabatan presiden masih menjadi konsumsi publik secara terbatas.

Karena temuan survei itu hanya 17,6 persen publik yang mengetahui usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi cukup satu periode saja selama tujuh tahun. Sementara 82,4 persen tidak tahu.

Baca Juga: Terlibat Prostitusi Online, Dua Artis Tanah Air Ditangkap di Hotel Sunter, Jakut

Baca Juga: Sekolah Tatap Muka, Kapasitas Kelas Hanya 50 Persen, Nadiem: Minimal Harus Dua Shift

"Para elite politik, akademisi, dan tokoh bangsa diharapkan mempertimbangkan opini publik itu. Sekaligus membuka wacana tersebut seluas-luasnya agar publik mengetahui serta bersuara," kata Tri Okta.

Survei CPCS dilakukan pada 11 hingga 20 November 2020, dengan jumlah responden 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia, melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019.

"Margin of error" survei sebesar kurang lebih 2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah