Kudeta Militer di Myanmar Semakin Memanas, Perdana Menteri Inggris Boris Bohnson: Saya Ngeri

- 6 Maret 2021, 13:20 WIB
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson /Instagram/borisjohnsonuk

SEPUTARTANGSEL.COM - Gelombang para demonstran yang menentang kudeta militer di Myanmar belum juga menandakan titik akhir, bahkan semakin memanas.

Beberapa pihak dari berbagai belahan dunia menentang keras atas keadaan tersebut, sebab telah menjatuhkan banyak korban.

Rasa keprihatinan juga diungkapkan oleh Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson melalui akun Twitter pribadinya @BorisJohnson pada Kamis, 4 Maret 2021.

Baca Juga: Bersikeras Menentang Kemerdekaan Taiwan, China Tetap Upayakan Kerja Sama Perdamaian

Baca Juga: Akhirnya Mahfud MD Buka Suara, Singgung KLB PKB yang Direstui Masa Kekuasaan SBY

Johnson mendesak keras kepada pemerintah militer Myanmar untuk segera mengakhiri penindasan dan kekerasan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi tersebut.

"Saya ngeri dengan meningkatnya kekerasan di Myanmar dan pembunuhan pengunjuk rasa pro-demokrasi. Kami mendukung rakyat Myanmar untuk menyerukan segera akhiri penindasan oleh militer, pembebasan Aung San Suu Kyi dan lainnya, serta pemulihan demokrasi," kata Johnson dalam pernyataan tertulisnya @BorisJohnson.

Dikabarkan sejumlah lebih dari 50 orang tewas dalam aksi demonstran di Myanmar sejak militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu, dikutip Seputartangsel.com dari Anadolu Agency pada Sabtu, 6 Maret 2021.

Baca Juga: Menkopolhukam Mahfud MD Bilang KLB Partai Demokrat Bukan Masalah Hukum, Andi Arief: Maaf Pak Prof

Baca Juga: Jhoni Allen Bilang KSP Punya KTA Bernomor Khusus, Kader Demokrat: Publik Juga Tahu Moeldoko dari Partai Hanura

Inggris telah menentang dan turut memberikan sanksi kepada sejumlah jenderal dan tentara Myanmar yang terlibat dalam kudeta.

Seperti yang telah diketahui, perselisihan antara pemerintah dan militer di negara itu terjadi lantaran Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing menuduh adanya tindak kecurangan dalam pemilihan parlemen pada 8 November 2020 lalu.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dibawah pimpinan Aung San Suu Kyi berhasil menang telak 83 persen.

Baca Juga: Ridwan Kamil, Siapkan 10 Unit Rumah dan 10 Motor Untuk Para Pejuang Covid-19 Jawa Barat Terpilih, Ayo Ikutan!

Baca Juga: Marah karena AHY 'Disingkirkan' oleh KSP Moeldoko, Annisa Pohan Tulis Ayat Suci di Akun Twitter Miliknya

Namun, Komisi Pemilihan menyatakan tidak ada bukti yang menyatakan adanya kecurangan.

Kemudian, pada 1 Februari 2021, militer menahan Aung San Suu Kyi dan pemimpin politik lainnya dan menyatakan keadaan darurat selama setahun.

Selama dalam keadaan darurat, militer memberlakukan peraturan jam malam dan dilarang untuk berkerumunan yang terdiri dari lima orang atau lebih.

Baca Juga: Laga Derby Atletico Madrid Vs Real Madrid, Siapa Pemenangnya?

Baca Juga: Dilantiknya Moeldoko Jadi Ketum Demokrat Versi KLB Banjir Kritik, Rocky Gerung Minta Jokowi Turun Tangan

Namun, pemerintah militer gagal dalam meredam protes rakyat dan kampanye oposisi sipil yang diprakarsai oleh pejabat pemerintah untuk melawan kekuasaan militer.***

Editor: Harumbi Prastya Hidayahningrum


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah