Dari sisi kesehatan, Covid-19 menjadi penyebab kematian, ribuan nyawa, ratusan tenaga medis, agamawan dan akademisi. Telah mengguncang praktik kebudayaan yang berbasis komunalisme masyarakat.
Selanjutnya dari sisi ekonomi, Covid-19 juga telah mengguncang ekonomi Indonesia. Bahkan dari sisi pendidikan, Covid-19 telah mengubah lanskap dunia pendidikan, termasuk pesantren.
Tak hanya itu, dari sisi keagamaan Covid-19 juga telah mempengaruhi kaifiyyah ubudiyah mulai dari salat, umroh, haji, hingga perawatan jenazah.
Penanganan Covid-19, jelas Said Aqil, membutuhkan keterlibatan multi-pihak. Pemerintah, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil seperti NU, Muhammadiyyah, dan lainnya dituntut untuk bekerja sama.
Baca Juga: Hari Ini Bioskop di Jakarta Kembali Beroperasi, Penonton Didata Enam Digit NIK
Baca Juga: Polisi Menangkap Enam Pelaku Pembunuhan Wartawan Demas Laira
Santri yang mempunyai modal keagamaan, sosial dan budaya, juga dituntut kontribusinya dalam penanganan Covid-19 ini.
"Melalui ini paling tidak dapat menjaga komunitas santri dan pesantren agar tidak menjadi cluster. Anjuran untuk bertaubat, membaca sholawat, menghentikan permusuhan dan pertikaian, berdoa, merupakan khazanah pesantren yang masih relevan untuk menjawab pandemi. Termasuk dengan ikhtiar lahir seperti tetap menjaga jarak, social distancing, memakai masker, meningkatkan imunitas, menjaga kebersihan dan lainnya," tutur Said Aqil.
Soal UU Cipta Kerja
Tantangan kedua, menurutnya, adalah soal UU Cipta Kerja, dimana UU Cipta Kerja ini menjadi polemik sejak dari proses penyusunan sampai disahkan menjadi UU.