Gila Buku Ala Gus Dur

- 2 Mei 2021, 08:04 WIB
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid /Sumber: Twitter / Setkabgoid/

SEPUTARTANGSEL.COM – Tidak sedikit orang-orang besar dalam sejarah dapat meraih tangga keberhasilan karena kegemaran mereka dalam membaca.

Salah satu tokoh nasional yang bisa dikatakan maniak dengan buku adalah Presiden ke-4 Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur.

Kegemaran Gus Dur membaca tentu bukan muncul tiba-tiba.

Gus Dur lahir di keluarga yang cukup disegani masyarakat. Ia adalah anak dari KH Wahid Hasyim mantan Menteri Agama. Juga cucu dari KH Hasyim Asyari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Baca Juga: UU Cipta Kerja Jadikan Buruh Pelayan Investasi Asing dan Membuat Nasib Buruh Kian Rentan

Ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan, maka pendidikan Gus Dur dibina langsung sang bunda, Solichah Munawaroh.

Walau sibuk berdagang dan mengajar majelis, sang ibu tetap mendorong anak-anaknya untuk gemar membaca. Bahkan ketika keluar rumah, Gus Dur selalu membawa buku.

Greg Barton menuliskan dalam "The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid", Gus Dur mulai rakus membaca ketika tahun 1954 dirinya dikirim ke Yogyakarta untuk menempuh studi Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Di kota pelajar tersebut Gus Dur girang bukan main karena mudahnya akses untuk mendapatkan buku.

Baca Juga: Mahasiswa Papua Diamankan Karena Ikut Peringati Hari Buruh

Bayangkan saja diusianya yang baru menginjak belasan tahun ia sudah menggemari buku filsafat Plato dan Aristoteles.

Sebelum ia menginjak dewasa, buku-buku seperti “Das Kapital” karya Karl Marx, “What Is To Be Done?” karangan Vladimir Lenin, dan “The Little Red Book” karya Mao Zedong sudah habis dilalap olehnya.

Rasa haus membaca inilah yang membuat pandangan Gus Dur menjadi semakin luas.

Ia bukan hanya membaca buku-buku umum, buku sastra juga ia lalap habis seperti karya Kafka, Andre Gide, Ernest Hemingway, Tolstoy dan Nizami, bahkan cerita silat karangan Koo Ping Ho juga dibacanya.

Baca Juga: Pasca Penetapan KKB di Papua Sebagai Teroris Menimbulkan Konsekuensi

Ketika tahun 1960-an gerakan Pan Islamisme merebak di Timur Tengah, Gus Dur sudah mengkhatamkan risalah-risalah pergerakan Ikhwanul Muslim. Seperti Risalah Politik Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb.

Ada masa Ketika Gus Dur merasa jenuh dengan beban studi yang diembannya saat menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Kejenuhannya membuat ia lebih senang mengunjungi perpustakaan-perpustakaan kuno di Kairo ketimbang duduk manis di kelas.

Ia menghabiskan waktu untuk menelaah kitab-kitab yang menjadi masterpiece dunia Arab.

Dalam buku “Gus Dur Van Jombang” karangan Heru Prasetia, ada pengalaman unik yang menggambarkan betapa maniaknya Gus Dur terhadap buku.

Baca Juga: Prihatin Munculnya Klaster Baru Usai Shalat Tarawih, Menteri Agama Imbau Masyarakat Patuhi Prokes

Pada tahun 1978, Gus Dur mengalami kecelakaan. Vespa yang ditumpanginya tertabrak mobil.

Kecelakaan tersebut membuat cidera parah pada tubuhnya sehingga berdampak ke mata kirinya. Dokter yang menangani Gus Dur mengatakan bahwa mata Gus Dur akan kembali normal asal Gus Dur cukup beristirahat.

Gus Dur justru tetap bandel membaca sehingga mata kirinya tak dapat sembuh total.

Baca Juga: Tsunami Covid-19 Mencapai 18,8 Juta Orang, Ilmuwan India Perkirakan Puncaknya Pekan Depan

Dekatnya Gus Dur pada buku memberikan pengaruh pada jalan pikiran, pandangan dan guyon-guyonannya sehingga apa yang diucapkan Gus Dur saat ini seolah terbukti benar dan tetap relevan.

Benar kata AS Hikam dalam “Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita”, dia menuliskan,”Apa yang dipikirkan dan dilakukan Gus Dur masih terus dibicarakan, dianalisa diperdebatkan, oleh anak bangsa sepanjang masa.”***

Sumber:

Greg Barton.2004. The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKIS.

Heru Prasetia & Edi Jatmiko. 2013. Gus Dur Van Jombang, Yogyakarta: Bunyan

Muhammad AS Hikam. 2013. Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita, Bandung: Yrama Widya

Editor: Ignatius Dwiana


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah