"Saya pribadi selalu mendukung upaya-upaya untuk menegakan kebenaran dan keadilan, dan sangat tidak dukung upaya-upaya menggunakan,UU ITE untuk menangkap, menahan, menersangkakan, menuntut, orang-orang yang kritis, orang-orang yang memiliki opini atau bersikap," tuturnya.
Refly Harun menilai karena penggunaan UU ITE umumnya menggunakan delik formil, sehingga di situ terdapat unsur subjektivitas aparat di dalamnya.
"Celakanya memang seperti itu semua, penyebaran kebencian, provokasi dan sebagainya, penggunaan UU ITE itu rata-rata deliknya delik formil sehingga, dengan subjektifitas aparat penegak hukum mereka bisa saja menersangkakan orang lain, bahkan menangkap," ucapnya.
Baca Juga: Bidik Puncak Klasemen, Manchester City Rela Patenkan Posisi Kevin De Bruyne
Baca Juga: BSU Rp2,4 Juta dari Kemnaker Akan Dicairkan Bulan Ini, Cek Detailnya
Oleh karena itu jika substansinya adalah kritik, Refly Harun meminta aparat untuk bisa membedakan antara kritik dengan penghinaan atau provokasi.
"Jadi negara demokratis itu, negara yang tidak memenjarakan orang hanya karena perbedaan pendapat atau karena kata-kata, di republik ini sayangnya kata-kata itu jauh lebih dianggap berbahaya ketimbang tindak pidana korupsi," tuturnya.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Jumhur Hidayat menyampaikan, kepolisian juga tidak konsisten dalam menyatakan pasal yang disangkakan kepada Jumhur. Ia mengatakan ketika pertama ditangkap, kliennya dituding menunggangi unjuk rasa.
Baca Juga: Angkasa Pura I Rilis Harga Rapid Test Antigen di 7 Bandara
Namun saat sudah ditangkap, yang disangkakan justru Pasal 45 A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu. Diketahui, Jumhur juga dijerat Pasal 160 KUHP terkait penghasutan.