Agar Tak Korupsi Setelah Terpilih, Ketua KPK Sarankan Paslon Pilkada Punya Rp65 Miliar

- 20 Oktober 2020, 15:57 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan tanggapannya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis 25 Juni 2020. Rapat yang diikuti oleh Ketua KPK, PPATK dan BNN tersebut membahas mengenai Rancangan Kerja Anggaran (RKA) K/L dan Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) K/L untuk tahun anggaran 2021.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan tanggapannya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis 25 Juni 2020. Rapat yang diikuti oleh Ketua KPK, PPATK dan BNN tersebut membahas mengenai Rancangan Kerja Anggaran (RKA) K/L dan Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) K/L untuk tahun anggaran 2021. /MUHAMMAD ADIMAJA/

SEPUTARTANGSEL.COM – Kasus tindak pidana korupsi banyak terungkap pada saat tahun politik seperti sekarng ini.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menilai, hal itu harus disikapi dengan serius.

Mengingat pada tahun politik yang lalu yakni 2015, 2017, dan 2018, banyak kasus tindak pidana korupsi terungkap.

Baca Juga: 3 Hari Lagi Bisa Dicabut, Peserta Prakerja Gelombang 9 Harus Melakukan Ini

Baca Juga: Link Live Streaming Timnas Indonesia U-19 Indonesia vs Hajduk Split Gratis, Sore Ini

"Kasus korupsi itu terjadi, terbanyak terungkap oleh KPK di saat tahun politik, 2015, 2017, dan 2018," kata Firli dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020 yang disiarkan melalui Youtube KPK, Selasa 20 Oktober 2020.

Firli menyebutkan, pada Pilkada 2018 saja KPK telah menangkap 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, dengan 122 tersangka.

"Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap saya harus katakan itu, kasus korupsi tertinggi yang tertangkap karena bisa saja banyak belum tertangkap. Setidaknya 30 kali tertangkap kepala daerah," ungkap Firli.

Baca Juga: Demo Omnibus Law UU Cipta Kerja Masih Terjadi, Luhut Rayu Investor Jerman ke Indonesia

Baca Juga: Ronaldo Absen di Laga Pertama Liga Champions 2020-2021, Akankah Pirlo Mainkan Dybala?

Firli juga menjelaskan soal pelaksanaan pilkada, ia pun mengungkapkan masalah pendanaan pilkada, yakni adanya kesenjangan (gap) antara biaya pilkada dengan kemampuan harta pasangan calon kepala daerah.

Artinya, total harta pasangan calon kepala daerah tidak mencukupi biaya pilkada.

"Dari hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon bahkan dari LHKPN itu minus," tutur Firli.

"Jadi, total hartanya cuma rata-rata Rp18 miliar bahkan ada tidak sampai Rp18 miliar. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada," tambahnya.

Baca Juga: Cuti Bersama Oktober - Desember 2020, Berikut Daftar Hari dan Tanggalnya

Baca Juga: Didemo di Jakarta, Presiden Jokowi Sambut PM Jepang di Istana Bogor

Berdasarkan survei KPK pada pelaksanaan pilkada 2015, 2017, dan 2018, jelasnya, total harta rata-rata satu pasangan calon adalah Rp18.039.709.967.

Bahkan ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15.172.000.

"Jadi, ini wawancara 'indepth interview' ada yang ngomong Rp5 miliar sampai Rp10 miliar tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus. Mau 'nyalon' saja sudah minus," tutur Firli.

Baca Juga: Antisipasi Evakuasi Saat Banjir, Gulkamat DKI Jakarta Siagakan 280 Unit Perahu Karet

Baca Juga: Rp890 Miliar untuk Dana BOS Madrasah dan Pesantren Segera Cair

Selain itu, ia pun mengungkapkan dari hasil penelitian terdapat 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh pihak ketiga atau sponsor.

"Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017 ada 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018  ada 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

x