SEPUTARTANGSEL.COM - Kasus penembakan Brigadir J alias Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah Kadiv Propam Polri nonaktif, Irjen Ferdy Sambo masih meninggalkan banyak tanda di benak publik.
Selain kejanggalan-kejanggalan yang diungkap oleh keluarga Brigadir J, banyak pihak mempertanyakan mengapa belum ada tersangka pasca tiga pekan penembakan.
Salah satu tokoh yang menyoroti kasus penembakan terhadap Brigadir J adalah Pengamat Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.
Menurut Bambang, sejak awal sudah banyak Peraturan Kapolri (Perkap) yang dilanggar dalam penanganan kasus Brigadir J.
Peraturan Kapolri yang dilanggar dalam kasus Brigadir J di antaranya, yaitu terkait olah tempat kejadian perkara (TKP), pelaksanaan prarekonstruksi, dan penggunaan senjata api oleh personel Polri yang bertugas mengawal perwira tinggi.
"Itu beberapa Peraturan Kapolri yang dilanggar," kata Bambang, dikutip SeputarTangsel.com dari ANTARA pada Jumat, 29 Juli 2022.
Menurut Bambang, pengambilan CCTV dan olah TKP yang dilakukan penyidik di rumah Ferdy Sambo telah melanggaran Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.
Baca Juga: Beredar Kabar Hasil Autopsi Brigadir J Direkayasa Dokter Forensik, Begini Kata Komjen Susno Duadji
Selanjutnya, Bambang juga menyinggung penundaan pengumuman tewasnya Brigadir J kepada publik.
Bambang menilai, Polri juga sudah mengalihkan isu dari kasus penembakan menjadi kasus pelecehan seksual.
Selain itu, kata Bambang, Polri tidak menghadirkan terduga pelaku penembakan Brigadir J kala itu, yakni Bharada E.
Melihat banyaknya kejanggalan yang terjadi dalam kasus Brigadir J, Bambang menilai hal ini berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
Meski Bambang mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menurutnya agak terlambat karena menunggu desakan publik, ke depannya ia juga berharap agar semua pihak yang terlibat dalam menutupi kasus Brigadir J juga dinonaktifkan.
"Kita apresiasi langkah yang diambil Kapolri meski agak terlambat dan menunggu desakan publik," ujarnya.
"Ke depan harapannya bukan hanya penonaktifan Kadiv Propam, tetapi juga semua jajaran yang terlibat dalam upaya-upaya menutupi kasus ini hingga tiga hari baru diungkap ke publik," kata Bambang menambahkan.
Lebih lanjut, Bambang juga mengungkap pelanggaran-pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri lainnya.
Di antaranya yaitu pelaksanaan prarekonstruksi yang dilakukan di Polda Metro Jaya dan rumah Irjen Ferdy Sambo pada Sabtu, 23 Juli 2022.
Ia menjelaskan, berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor 1205 Tahun 2000 dalam BAB III angka 8.3 SK Kapolri 1205/2000, diatur bahwa metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik interview, interogasi, konfrontasi, dan rekonstruksi.
Artikel Ini Pernah Tayang dengan Judul: Terungkap, Banyak Pelanggaran Peraturan Kapolri Sejak Awal Penanganan Kasus Brigadir J
Pelaksanaan rekonstruksi juga diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 yang secara lengkap menyatakan bahwa dalam hal menguji penyesuaian keterangan para saksi atau tersangka, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan rekonstruksi.
Sementara, dalam prarekonstruksi yang dilakukan Polda Metro Jaya, saksi dan tersangkanya masih dipertanyakan.
"Dalam Surat Keputusan Kapolri Nomor 1205/2000 itu tidak ada istilah prarekonstruksi," tegasnya.
Mengenai senjata api yang digunakan oleh Bharada E alias Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumihu sebagai ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, Bambang mengatakan hal itu tidak sesuai dengan peraturan dasar kepolisian.
Bambang menerangkan, tamtama yang bertugas melakukan penjagaan hanya diperbolehkan membawa senjata api laras panjang, ditambah dengan sungkur.
Menurut Bambang, pemberian rekomendasi penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan peran dan fungsi tugas masing-masing personel Kepolisian.
Karena itu, ia mempertanyakan tugas dan fungsi Bharada E. Apakah sebagai petugas penjaga rumah dinas, sopir, atau ajudan.
Menurutnya, petugas penjaga rumah dinas memang dibekali senjata api laras panjang dan sangkur.
Namun, apabila personel tersebut bertugas sebagai sopir, maka urgensi penggunaan senjata api otomatis berjenis Glock-17 patut dipertanyakan.
"Kalau sebagai ajudan, apakah ajudan perwira tinggi, sekarang diubah cukup minimal level tamtama. Dan apakah ajudan perlu membawa senjata api otomatis seperti Glock dan sebagainya?" ujar Bambang.
Bambang mengimbau agar Polri memberikan petunjuk pelaksanaan terkait senjata api tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan.
"Sementara ini saya juga belum menemukan detail aturan terkait penggunaan masing-masing senjata api dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2022, jenis apa, untuk siapa, dan bagaimana aturan pengawasannya," ucapnya.***