Ditambah lagi, lanjut HNW, kejahatan yang dilakukan Herry berulang-ulang sejak 2016 sampai 2021, dan kejahatannya mengakibatkan dampak yang serius kepada para korban bahkan 9 di antaranya hingga melahirkan.
Selain itu, posisinya sebagai guru yang seharusnya mendidik dan mengayomi muridnya, tapi malah melakukan kejahatan seksual berulang terhadap para santriwatinya itu.
“Oleh karena itu, sikap majelis hakim yang tidak memberlakukan hukuman mati sebagaimana tuntutan Jaksa melainkan cukup dengan hukuman seumur hidup, dengan alasan keadilan bagi korban, malah tidak bisa memenuhi keadilan untuk para korban sesuai ketentuan dalam UU Perlindungan Anak yang masih berlaku,” tukasnya.
Menurut HNW, vonis seumur hidup yang dijatuhi oleh majelis hakim, bahkan tidak diperberat dengan hukuman kebiri, juga penyitaan harta sebagai kepedulian terhadap para korban. Sementara, pemberatan vonis itu telah tersedia dalam instrumen hukum Indonesia.
“Padahal, baik hukuman mati, hukuman kebiri, penyitaan harta adalah legal dan sangat dimungkinkan oleh UU yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No. 17 Tahun 2016 dan yang bersangkutan sangat layak dijatuhi hukuman yang berlaku di negara hukum Indonesia,” tuturnya.
HNW juga menyesalkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menerima vonis hakim itu, padahal vonis itu tidak sesuai dengan sanksi maksimal dalam UU Perlindungan Anak.
HNW pun mendukung Gubernur Jabar Ridwan Kamil, lokasi terjadinya kasus kejahatan seksual biadab ini, yang meminta Jaksa mengajukan banding sesuai dengan tuntutannya yang memenuhi rasa keadilan dan komitmen memberantas kejahatan seksual apalagi yang berlaku terhadap anak-anak.