Mantan Dosen Filsafat Universitas Indonesia itu menduga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengetahui rencana pembusukan itu selama lebih dari setahun. Sayangnya, orang nomor satu itu justru terlalu diam.
"Jadi selama 1,5 tahun itu tidak dianggap sebagai ketidaknormalan, maka artinya Presiden Jokowi tahu pembusukan itu dan tahu kecurangan itu tapi terlalu diam," ujarnya.
"Jadi kita ditakut-takuti oleh Covid agar supaya semua orang itu harus tes PCR. Kan begitu kan," sambungnya.
Lebih lanjut, dia menganggap hal tersebut sebagai pharmacopolitics, yakni persekutuan antara politisi dan industri, di mana variabel politik diselundupkan melalui kefarmasian.
Rocky mengatakan, permainan pengusaha farmasi dengan politisi selalu menimbulkan keuntungan yang berlipat ganda. Pasalnya, kedua pihak itu lah yang mampu membuat prediksi karena beberapa hal khusus tidak dapat diketahui masyarakat.
"Mereka yang tahu ekstrapolasi penyakit, mereka yang mampu membuat prediksi karena kekhususan-kekhususan teknis tidak dapat diketahui masyarakat," paparnya.
Baca Juga: Rocky Gerung Usulkan Audit Harga Tes PCR Rp275 Ribu: Bisa Dijadikan Pidana
Dia menuturkan, manipulasi yang dilakukan para pengusaha dan penguasa justru melanggar asas-asas kesetaraan manusia.
Salah seorang pendiri Setara Institute itu mengungkapkan, sudah ada kuota tes PCR yang sudah disiapkan untuk diambil keuntungannya. Menurutnya, hal ini membuat Jokowi dalam posisi yang berisiko.