SEPUTARTANGSEL.COM – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam sejumlah pasalnya menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari.
Dia memaparkan sepanjang 2020 tercatat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil di seluruh wilayah Indonesia. Pelanggaran kebebasan berpendapat atau berekspresi di ranah digital yang terjadi sebanyak 17 persen. Padahal kebebasan berekspresi pondasi dasar demokrasi.
“UU ITE ini termasuk undang-undang yang banyak digunakan untuk modus dalam melakukan kriminalisasi” terangnya dalam diskusi ‘Menerka Arah Revisi UU ITE’ yang diadakan The Indonesian Institute pada Kamis, 25 Maret 2021.
Baca Juga: Satu Terlapor Unlawful Killing Laskar FPI Meninggal Kecelakaan, Ini Komentar Warganet di Twitter
Korban kriminalisasi UU ITE ini bermacam-macam. Dari warga biasa hingga profesi yang justru dilindungi undang-undang.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Hemi Lavour Febrinandez menyoroti Tim Kajian UU ITE yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Dalam Tim Pelaksana Kajian UU ITE ini terdapat 2 sub tim.
Dia menilai pembentukan tim kajian merupakan langkah positif. Karena mampu menampung aspirasi masyarakat terkait pasal karet hingga kesalahan pada tahap implementasi.
Baca Juga: Ratusan Kapal China Memasuki Perairan Filipina, Duterte Prihatin atas Sikap China