Omnibus Law Disahkan, Ini Kata Serikat Pekerja Tentang Hak-hak Buruh yang Hilang

- 6 Oktober 2020, 10:27 WIB
Sejumlah buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin 5 Oktober 2020. Pada aksinya itu mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020.
Sejumlah buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin 5 Oktober 2020. Pada aksinya itu mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. /Foto: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras./

SEPUTARTANGSEL.COM - Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang.

Undang-Undang yang digadang gadang untuk mempercepat masuknya investasi ke dalam negeri justru banyak menimbulkan keresahan pekerja swasta terlebih lagi buruh kontrak.

Ditambah lagi undang-undang ini juga diprediksi sejumlah kalangan, akan mempermudah derasnya arus tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Ini Dia Top Go-To Merchant Baru ShopeePay yang Bermanfaat untuk Kamu!

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menganggap undang-undang Ciptaker terlalu dipaksakan dikebut untuk menjadi undang-undang.

Terlepas dari keresahan itu di tengah pandemi ini para buruh  menganggap adanya pasal-pasal kontroversial di dalam undang-undang ciptaker. Berikut di antaranya :

1. Upah Minimum

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Peringatan Dini BMKG: Jakarta Hujan Disertai Kilat dan Angin Kencang pada Sore Hari

Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten atau kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di Indonesia disebut lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.

Jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.

"Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara," papar Iqbal.

Baca Juga: Hingga Sabtu 3 Oktober, IDI: 130 Dokter, 9 Dokter Gigi, 92 Perawat Meninggal Karena Covid-19

Sebagai jalan tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja.

Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.

"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Iqbal.

Baca Juga: Sah! Omnibus Law RUU Cipta Kerja Menjadi Undang-undang

2. Pesangon Berkurang

Buruh juga menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah dalam RUU Cipta Kerja. Di dalamnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon.

"Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini," tutur Iqbal.

3. Kontrak Kerja Tanpa Batas Waktu

Buruh pun menolak skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dihapus batas waktunya. Hal ini membuat buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa menjadi karyawan tetap.

"Buruh menolak PKWT seumur hidup," ujar Iqbal.

Baca Juga: Update Corona Indonesia 5 Oktober 2020: 307.020 Positif, 232.593 Sembuh, 11.253 Meninggal

4. Outsourcing Seumur Hidup

Iqbal juga menjelaskan dalam RUU Cipta Kerja, kontrak outsourcing disebut bisa seumur hidup. Outsourcing juga diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.

"Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan," kata Iqbal.

5. Baru Dapat Kompensasi Minimal 1 Tahun

Undang-Undang Cipta Kerja mengatur kompensasi bagi pekerja yang akan diberikan bila masa kerja sudah mencapai minimal satu tahun. Sementara itu, kontrak kerja sudah tidak memiliki batasan waktu. Iqbal khawatir, buruh yang dikontrak di bawah satu tahun tak akan mendapatkan kompensasi kerja.

"Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi," kata Said.

Baca Juga: Innalillahi, Ratusan Mahasiswa PTIQ Dinyatakan Positif Covid-19

Hal itu dinilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya, pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas.

Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.

"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi," papar Iqbal.

6. Waktu Kerja yang Berlebihan

Buruh juga menolak waktu kerja yang disepakati dalam RUU Cipta Kerja, karena dinilai bersifat eksploitatif dan cenderung berlebihan.

UU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari.

"Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif," kata Iqbal.

Baca Juga: Sama-sama Babak Belur, Lebih Buruk Mana Manchester United atau Liverpool?

7. Hak Upah Cuti yang Hilang

Said mengatakan hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, yang jadi masalah, selama cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Pihaknya tidak setuju hal itu terjadi.

"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut," ungkap Iqbal.

Dia ingin selama cuti haid dan melahirkan tersebut buruh tetap diberikan haknya sebagai pekerja.

Jika buruh tidak dibayar selama cuti, menurutnya telah bertentangan dengan Organisasi perburuhan internasional (ILO).***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

x