Fadli Zon Desak Permenaker Soal JHT Dicabut: Masa Harus Cacat atau Mati Dulu

- 19 Februari 2022, 10:37 WIB
Fadli Zon mendesak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 soal Jaminan Hari Tua (JHT) segera dicabut
Fadli Zon mendesak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 soal Jaminan Hari Tua (JHT) segera dicabut /YouTube Fadli Zon Official/

Kemudian, Fadli menjelaskan beberapa alasan agar Permenaker itu bisa dianggap menzalimi kaum buruh.

"Pertama, filosofi JHT sebenarnya adlh tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tak lagi bekerja, atau tak lagi menerima upah. Sehingga, teorinya, saat seseorang tak lagi menerima upah, maka ia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya," tandasnya.

Sementara itu, Fadli juga menyinggung pemerintah yang tidak bisa memberikan jaminan kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya hingga usia 56 tahun.

Baca Juga: Jokowi Restui Aturan JHT Cair Usia 56 Tahun, Rocky Gerung: Doyan Ngumpulin Duit, Ganti Presiden

"Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja di sektor formal, apakah mereka harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun kemudian untuk mencairkan uangnya sendiri," jelasnya.

Kemudian, Fadli menegaskan bahwa JHT bukan lah sebuah asuransi jiwa atau kecelakaan kerja yang bisa dicairkan sebelum 56 tahun dengan syarat mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

"Kedua, Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia," pungkasnya.

"Lho, JHT ini adlh 'asuransi sosial' bagi orang yg kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja. Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini, selain zalim, juga aneh," sambungnya.

Lebih lanjut, Fadli juga menyinggung soal pembuat Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang tidak adil karena tidak melibatkan kaum buruh dan Komisi IX DPR RI.

"Ketiga, kebijakan ini dirumuskan Pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu dgn 'stakeholder' terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI. Proses perumusannya saja sudah tidak 'fair' dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa 'fair' jika begitu," tandasnya.***

Halaman:

Editor: Dwi Novianto


Tags

Terkait

Terkini