SEPUTARTANGSEL.COM - Polemik perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur terus menjadi sorotan publik.
Banyak masyarakat yang tidak menyetujui perpindahan dan pemberian nama 'Nusantara' untuk Ibu Kota Negara baru ini.
Belum selesai polemik itu, kini masyarakat dihadapkan oleh pemilihan Kepala Otorita dari Ibu Kota Negara baru ini yang akan ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi.
Seperti diketahui, sudah muncul empat nama yang menjadi calon Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru ini, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Abdullah Azwar Anas, Bambang Brodjonegoro, dan Tumiyana.
Bahkan ada pihak yang menyebutkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Pandjaitan juga menjadi calon Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru.
Oleh karena itu, ahli hukum tata negara Refly Harun menanggapi calon Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru itu melalui unggahan video di kanal YouTube miliknya pada Kamis, 20 Januari 2022.
Baca Juga: TMII Terbengkalai Usai Diambil Alih Pemerintah, Netizen: Sok Iye Mau Bikin IKN
"Harusnya ya tidak main tunjuk begitu saja, karena kalau kita bicara tentang good gevernance clean government harusnya ada check and balances dalam penunjukkan kepala otorita," ungkap Refly Harun yang dikutip SeputarTangsel.Com dari kanal YouTube Refly Harun pada Senin, 20 Januari 2022.
Kemudian Refly Harun mengkritik mekanisme penunjukkan langsung Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru tersebut.
Mantan Komisaris Utama Jasa Marga itu menilai seharusnya pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru harus melibatkan DPR dan DPD.
"Karena ini adalah otorita bagi ibu kota negara, paling tidak ada persetujuan dari DPR dan DPD. Harus DPD juga karena DPD kan sebenarnya juga mewakili kepentingan daerah, harusnya lebih tahu," ujar Refly.
"Jadi baiknya Undang Undang mengatakan bahwa penunjukkan kepala otorita disetujui baik oleh DPR maupun DPD, mestinya begitu," sambungnya.
Hal itu perlu dilakukan agar subjektivitas pemilihan Kepala Otorita itu agak terkurangi.
Namun, DPR dan DPD tidak boleh mempunyai hak pilih, kedua lembaga itu hanya mengatakan 'iya atau tidak'.
"Jadi cukup disodorkan satu nama, kalau tidak ditolak, kalau tidak berarti dicabut diganti yang lain," tutur Refly.
Lebih lanjut, Refly mengungkapkan jika pemilihan itu terjadi deadlock, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
"Bagaimana kalau deadlock? Nah itulah yang namanya seni berpolitik, karena kalau berpolitik deadlock, maka presiden bisa mengeluarkan Perpu," jelasnya.
"Kalau Perpu ditolak, ya Perpu lagi. Makanya politik tidak boleh deadlock harus ada kompromi keduanya," tambahnya.***