Ia menegaskan, ada kelompok-kelompok yang memang hidup dari memfitnah dan melabel FPI.
"Memang ada kelompok-kelompok yang kerjanya setiap hari atau hidupnya dari memfitnah FPI, membuat labeling kepada FPI. Mereka mendapatkan rating juga, mendapatkan dana, mendapatkan macam-macam mereka mengajukan proposal untuk stigma. Itu diajukan ke berbagai funding agency, termasuk funding agency dalam negeri," ungkapnya.
"Bahkan yang demo-demo ini, yang belakangan marak demo anti terhadap Habib Rizieq, itu pun ada arrangement-nya, ada arranger-nya, ada dananya, ada motornya," lanjutnya.
Terdakwa kasus dugaan tindak pidana terorisme itu menilai, hal tersebut yang menyebabkan FPI dianggap sebagai preman, tukang palak, dan berbagai stigma lainnya.
Bahkan ia mengungkapkan bahwa pemerintah Amerika Serikat bekerja sama dengan media mainstream di Tanah Air untuk meliberalisasi Islam, termasuk FPI.
Menurutnya grand design tersebut bukan hanya dilakukan dalam skala nasional, melainkan global.
"Kedutaan Amerika di biro komunikasinya dan biro komunikasi ini, ini adalah dana yang tidak dilaporkan ke APBN Amerika, di bawah information public service bahwa mereka bekerja sama dengan media-media mainstream di Indonesia untuk membuat acara-acara meliberalisasi Islam di Indonesia. Saya punya laporannya, konkret kok," tegasnya.***