Amanat Ketua PBNU pada Hari Santri 2020: Tantangan Pandemi Covid-19 dan UU Cipta Kerja

- 22 Oktober 2020, 16:55 WIB
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. / (Foto: Dok. PBNU/

SEPUTARTANGSEL.COM – Hari ini,tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2020 merupakan hari yang ditunggu oleh para santri di Indonesia. Pasalnya hari ini diperingati sebagai hari santri nasional.

Penetapan Hari Santri Nasional oleh Presiden Jokowi (Joko Widodo) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015 adalah buah perjuangan para santri dan ulama pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam kesempatan Hari Santri Nasional 2020 hari ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyampaikan amanat dalam sebuah tulisan panjang berjudul “Hari Santri, Kontekslualisasi Ruhul Jihad di Era Pandemi".

Baca Juga: Latihan Terakhir Bersama Timnas Indonesia U-19, Shin Tae-yong Titip Pesan untuk Elkan Baggott

Baca Juga: Tragis, Satu Keluarga di China Tewas Usai Makan Mie BongkrekBaca Juga: Tragis, Satu Keluarga di China Tewas Usai Makan Mie Bongkrek

Said Aqil Siradj mengatakan, Hari Santri memiliki makna sejarah penting. Ini adalah sebuah pengakuan terhadap perjuangan kaum santri yang panjang. Bahkan telah dimulai berabad-abad sebelum kata Indonesia popular di kalangan kaum pergerakan tahun 1920-an.

Menurut Said Aqil, dengan memperingati Hari Santri, berarti mencoba meneladani uswatun hasanah para ulama-pejuang kemerdekaan, para santri yang berjibaku meregang nyawa demi mempertahankan kemerdekaan bangsa.

“Peringatan ini kita laksanakan agar kita mampu menerjemahkan menerapkan dan mengaplikasikan ruhul-jihad tersebut dalam menjawab tantangan saat ini dan masa depan,” kata Said Aqil, dikutip Seputartangsel.com darii amanat yang disampaikan melalui akun Twitter resmi Nahdlatul Ulama, pada Kamis 22 Oktober 2020.

 

Baca Juga: Nikon Berhenti Beroperasi, Pamit dari Indonesia

Baca Juga: Hari Santri Nasional, Mengapa Tanggal 22 Oktober?

"Karena itulah, melalui peringatan ini dengan spirit Resolusi Jihad, kita para santri, memiliki tanggung jawab moral untuk menjawab tantangan zaman," tambahnya.

Sekilas Sejarah Hari Santri

Orang nomor satu di PBNU ini menyampaikan tentang sejarah penetapan hari santri yang erat dengan seruan Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ary.

Pada tanggal 21 Oktober 1945 PBNU mengundang konsul-konsul NU seluruh Jawa–Madura untuk rapat di kantor PB ANO (Anshor Nahdlatul Oelama) di Surabaya.

Dalam rapat PBNU yang dipimpin langsung Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah ini, PBNU menetapkan Keputusan bersejarah yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, diumumkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

Hal ini dilakukan sebagai langkah atau respons cepat para ulama NU atas upaya kembalinya NICA Belanda ke tanah air dengan membonceng tentara Sekutu untuk menguasai kembali Indonesia.

Baca Juga: Hasil Lengkap Liga Champions 21-22 Oktober: Madrid Tersungkur, Muenchen Pesta Gol

Baca Juga: Harga Emas Antam dan UBS di Pegadaian Hari Ini, Kamis 22 Oktober 2020

Said Aqil menyebutkan, Resolusi Jihad Fii Sabilillah dengan jelas memuat nilai nasionalisme yang berbasis ahlussunah wal-jamaah, yaitu kewajiban mempertahankan kemerdekaan, NKRI sebagai satu satunya pemerintahan yang sah yang harus dijaga dan ditolong.

Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya. Perang suci (jihad) ini adalah kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 km, dan fardhu kifayah bagi mereka yang tinggal di luar radius tersebut.

Tak hanya sampai di situ, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan adalah kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat empat Hari pada 26-27-28-29 Oktober 1945.

Yaitu, perang antara Brigade ke-49 di bawah komando Brigjend Aulbertin Walter Sothem Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang sangat heroik.

Perang ini menewaskan 2.000 an lebih pasukan sekutu, termasuk Brigjend Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945.

Baca Juga: Daftar BLT UMKM BPUM Tangsel di Link Ini, Bisa untuk Penjual Nasi Uduk, Gorengan, Sembako Dll

Baca Juga: Update Cara Daftar, Syarat dan Cek Penerima BLT UMKM BPUM Rp2,4 Juta

Kemudian para sejarawan, seperti Agus Sunyoto (2020) menyimpulkan bahwa Perang Rakyat Empat hari tersebut terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 20 Oktober 1945.

“Tidak salah jika ada yang berpendapat, tidak ada hari pahlawan tanpa Resolusi Jihad atau hari Santri. Resolusi Jihad menunjukkan antara Islam dan Nasionalisme bukanlah hal yang kontradiktif, bahkan tidak dapat dipisahkan," tegas Said Aqil.

Peran Santri dalam Memperkuat Jiwa Nasionalisme Bangsa

Tanggal 22 Oktober 1945 merupakan salah satu momentum sejarah penting. Berbagai peristiwa sejarah lain menunjukkan patriotisme dan nasionalisme masyarakat santri.

Catatan sejarah, lanjut Said Aqil, secara jelas menunjukkan bahwa hampir semua perjuangan bangsa selalu ditandai oleh keterlibatan penting kaum santri dan pesantren.

Masyarakat santri, baik yang berbasis komunitas tarekat, maupun pesantren, menjadi salah satu tulang punggung perlawanan terhadap penjajah.

Hubbul wathon minal-iman, doktrin yang hidup dan menjadi kesadaran berbangsa dan bernegara di pesantren terbukti mampu menggerakkan kekuatan rakyat melawan penjajah.

Tantangan Baru Kebangsaan

Said Aqil menjelaskan, saat ini kita tidak lagi berada pada era penjajahan fisik. Namun saat ini berada pada zaman globalisasi. Masyarakat politik menyebutnya sebagai era pasca hegemoni.

“Masyarakat meneybutnya sebagai era neoliberalisme. Masyarakat pengetahuan menyebut sebagai era post-truth, kemudian mayarakat teknologi menyebutnya sebagai era revolusi industri 4.0, dan masyarakat sosiologi menyebutnya sebagai era Generasi –Z. Apapun namanya, saat ini wajah kebangsaan kita dihadapkan oleh dua tantangan pokok,” terangnya.

Baca Juga: Song Joong Ki-Song Hye Kyo Setahun Berpisah, Ternyata Ini Penyebabnya

Baca Juga: Pilkada Serentak 2020, Kemenkopolhukam Minta Media Massa Bersikap Netral

Said Aqil mengungkapkan, tantangan tersebut adalah pandemi Covid-19  bukan hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga ekonomi, pendidikan, keamanan,dan kebudayaan.

Dari sisi kesehatan, Covid-19 menjadi  penyebab kematian, ribuan nyawa, ratusan tenaga medis, agamawan dan akademisi. Telah mengguncang praktik kebudayaan yang berbasis komunalisme masyarakat.

Selanjutnya dari sisi ekonomi, Covid-19 juga telah mengguncang ekonomi Indonesia. Bahkan dari sisi pendidikan, Covid-19 telah mengubah lanskap dunia pendidikan, termasuk pesantren.

Tak hanya itu, dari sisi keagamaan Covid-19 juga telah mempengaruhi kaifiyyah ubudiyah mulai dari salat, umroh, haji, hingga perawatan jenazah.

Penanganan Covid-19, jelas Said Aqil, membutuhkan keterlibatan multi-pihak. Pemerintah, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil seperti NU, Muhammadiyyah, dan lainnya dituntut untuk bekerja sama.

Baca Juga: Hari Ini Bioskop di Jakarta Kembali Beroperasi, Penonton Didata Enam Digit NIK

Baca Juga: Polisi Menangkap Enam Pelaku Pembunuhan Wartawan Demas Laira

Santri yang mempunyai modal keagamaan, sosial dan budaya, juga dituntut kontribusinya dalam penanganan Covid-19 ini.

"Melalui ini paling tidak dapat menjaga komunitas santri dan pesantren agar tidak menjadi cluster. Anjuran untuk bertaubat, membaca sholawat, menghentikan permusuhan  dan pertikaian, berdoa, merupakan khazanah pesantren yang masih relevan  untuk menjawab pandemi. Termasuk dengan ikhtiar lahir seperti tetap menjaga jarak, social distancing, memakai masker, meningkatkan imunitas, menjaga kebersihan dan lainnya," tutur Said Aqil.

Soal UU Cipta Kerja

Tantangan kedua, menurutnya, adalah soal UU Cipta Kerja, dimana UU Cipta Kerja ini menjadi polemik sejak dari proses penyusunan sampai disahkan menjadi UU.

Sehingga publik mempertanyakan urgensi dan efektivitas UU Cipta Kerja untuk menyederhanakan regulasi, menata ulang perizinan agar mampu menyediakan tenaga kerja, memanfaatkan bonus demografi, efisiensi birokrasi, dan pemberdayaan UMKM, merupakan formulasi arah kebijakan yang patut diapresiasi.

Baca Juga: Usai Training Camp di Kroasia, Timnas Indonesia U-19 Siap Jalani Turnamen Bergengsi di Prancis

Baca Juga: Pimpinan Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi Wafat, Ini Jejak Keilmuan dan Kiprahnya

Said Aqil menegaskan, UU Cipta Kerja juga masih menyimpan problem. Seperti komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan, liberalisasi pasar kerja, reduksi hak-hak dasar pekerja, liberalisasi massif sektor pertanina sampai migas dan mineral.

"Pemasalahan ini semestinya diselesaikan secara terbuka,melibatkan pasrtisipasi masyarakat, dan berpijak pada nilai kemasalahan publik,” ucapnya.

Dengan begitu, lanjut Said Aqil, dibutuhkan suara-suara jernih objektif, dan argumentatif dari masyarakat menjadi penting untuk didengar serta dicarikan formulasi kebijakan secara arif.

Santri yang menjadi harapan bangsa

Sementara itu, lanjutnya, santri harus dapat menjadi santri harapan bangsa dengan pendidikan karakter yang kuat.

Dengan pendidikan karakter akan membentuk akhlakul karimah yang merekat dalam diri santri.

Baca Juga: Awas Hoaks, Formulir Online Pengajuan BLT UMKM BPUM Ini Jangan Diisi!

Baca Juga: Drama Korea ’18 Again’ Sudah Tayang di Video on Demand Viu, Berikut Sinopsisnya

“Para santri diajarkan untuk berinteraksi sosial dengan sesama anak bangsa dari berbagai daerah, kultur, adat istiadat, ekonomi, dan etnis yang beragam. Apa yang diajarkan pesantren selalu diorientasikan untuk memahami dan menjawab problem-problem kehidupan bermasyarakat,bernegara dan berbangsa,” tuturnya.

Ia menambahkan, pendidikan pesantren adalah institusi pembelajaran untuk pengembagan pengetahuan, ilmu, dan teknologi untuk kepentingan agama, masyarakat, negara dan dunia.

“Maka saya yakin dengan modal sosial budaya keagamaan itu, santri bisa menjawab semua problem keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan,dan dunia,” pungkasnya.***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

x