Tolak Kenaikan Harga BBM, IRESS Tuntut Pemakzulan Jokowi, Marwan Batubara Beberkan 11 Poinnya

- 13 September 2022, 09:46 WIB
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM.
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM. /Foto: Instagram @jokowi/

Ketujuh, alasan BBM bersubsidi menjadi beban APBN adalah alasan yang mengada-ada bahkan cenderung menghina rakyat, karena APBN adalah instrumen untuk mensejahterakan. Hal ini sesuai Pancasila dan amanat konstitusi. Yang terjadi adalah, APBN dinilai telah menjadi instrumen ketidakadilan serta bancakan bagi pengusaha dan kekuasaan oligarkis.

Baca Juga: Erick Thohir Sebut Pemerintah Janji Turunkan Harga BBM, Ini Syaratnya

Kedelapan, sejalan dengan butir ketujuh di atas, Pemerintahan Jokowi menggunakan APBN untuk mendanai pembangunan proyek-proyek pro oligarki dan tidak prioritas, seperti proyek IKN, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang biayanya terus meningkat, impor vaksin tidak transparan yang pengadaannya didominasi swasta, dan proyek-proyek infrastruktur yang ditengarai sarat penggelembungan biaya demi perburuan rente.

Kesembilan, pernyataan pemerintah tentang APBN jebol jika harga BBM tidak naik akibat subsidi membengkak adalah absurd dan sarat kebohongan. Dikatakan ada kebutuhan tambahan subsidi energi Rp 198 triliun terhadap anggaran subsidi saat ini yang besarnya Rp 502 triliun. Padahal pada saat yang sama, kenaikan harga batubara, CPO, minyak dan gas dunia jutsru meningkatkan penerimaan negara SANGAT BESAR (windfall profit taxes), yakni lebih dari Rp 400 triliun. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa tambahan subsidi energi yang disebut Rp 198 triliun jika harga BBM tidak naik, pada dasarnya APBN tidak akan membuat APBN jebol, dan bahkan jauh melebihi kebutuhan tambahan yang nilainya Rp tersebut.

Kesepuluh, di dalam nilai subsidi energi APBN Rp 502 triliun, terkandung nilai subsidi listrik sebesar Rp 60 triliun. Besarnya beban subsidi ini antara lain terjadi akibat kebijakan pemerintah yang *memberi peluang kepada pengusaha listrik swasta* (independent power producer, IPP) pro oligarki untuk menjual listrik kepada PLN dalam kondisi PLN kelebihan pasokan listrik (cadangan berlebih sekitar 50-60%, seharusnya hanya 15-20%).

Baca Juga: PKS Walk Out Sidang Paripurna, Gabung Demo Tolak Harga BBM Naik di Depan Gedung MPR-DPR Senayan

Harga jual listrik tersebut pun menerapkan skema *take or pay* (TOP). PLN terpaksa membeli listrik IPP melebihi kebutuhan dengan harga justru lebih mahal. Akibatnya, harga pokok penyediaan (BPP) listrik naik dan tarif listrik pun ikut naik. Kenaikan ini akhirnya harus ditanggung APBN melalui subsidi listrik dan juga oleh konsumen listrik non-subsidi. Kebijakan listrik pro IPP oligarkis telah menghisap rakyat.

Kesebelas, pemerintah menghitung nilai subsidi BBM atas dasar harga keekonomian BBM berdasar komponen harga beli minyak mentah, nilai alpha (termasuk keuntungan badan usaha), PPN dan PBBKB. Namun rakyat disuguhi informasi tentang harga keekonomian BBM yang tidak kredibel dan berbeda-beda dari pejabat negara yang berbeda. Harga keekonomian BBM ini tidak transparan dan melanggar prinsip good governance, diduga digelembungkan dan patut diduga bernuansa moral hazard.

Sebenarnya masih ada beberapa pertimbangan lain mengapa rakyat harus menolak kenaikan harga BBM, dan hal itu akan diuraikan pada tulisan kedua. Namun, sebelas pertimbangan di atas sudah lebih dari cukup bagi rakyat menolak kenaikan harga BBM.

Dalam hal ini, IRESS menilai telah terjadi pengkhianatan terhadap hak rakyat dan juga terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu, kami mengajak rakyat Indonesia menolak kenaikan harga BBM dan sekaligus menuntut agar Presiden Jokowi segera manjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR dan MK, sesuai Pasal 7 UUD 1945.***

Halaman:

Editor: Asep Saripudin


Tags

Terkait

Terkini