Tolak Kenaikan Harga BBM, IRESS Tuntut Pemakzulan Jokowi, Marwan Batubara Beberkan 11 Poinnya

- 13 September 2022, 09:46 WIB
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM.
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM. /Foto: Instagram @jokowi/

Pertama, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan ekonomi rakyat yang saat ini masih terpuruk akibat pandemi Covid-19, terutama karena kenaikan harga BBM secara otomatis telah dan akan memicu kenaikan harga berbagai barang dan jasa lain, seperti harga-harga pangan, bahan pokok dan transportasi. Kenaikan inflasipun tak bisa dihindari, dan pada akhir 2022 dapat mencapai 10%.

Kedua, dalam kondisi daya beli yang masih rendah dan beban hidup yang semakin berat, kenaikan harga berbagai barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM, berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Rakyat miskin semakin miskin, sedangkan yang hampir miskin benar-benar akan jatuh miskin! Tingkat kemiskinan minimal akan mencapai 12%.

Ketiga, pemerintah mengatakan subsidi BBM tidak tepat sasaran (86% subsidi Pertalite dan 89% subsidi Solar tak tepat sasaran) dan kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun. Jika penyelewengan ini diatasi, maka kuota BBM bersubsidi tidak naik atau bahkan bisa turun, dan subsidi BBM di APBN pun turun. Sehingga harga BBM tidak perlu naik. Ternyata bukannya mencari solusi dan memperbaiki kondisi *tidak adil* ini, pemerintah malah menzolimi rakyat dengan semena-mena menaikkan harga BBM. Sementara itu penyelewengan dan ketidakadilan dibiarkan tetap berlangsung.

Baca Juga: Gelar Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Kader dan Simpatisan PKS Tangsel Tuai Dukungan

Keempat, diperkirakan kebijakan subsidi solar sarat moral hazard, sebab pemerintah yang menyatakan 89% solar bersubsidi tidak tepat sasaran, penikmatnya adalah dunia usaha. Namun pada saat yang sama pemerintah membuat kebijakan sumir, tidak jelas dan tidak pruden, sehingga membuka celah terjadinya penyelewengan penggunaan Solar bersubsidi, minimal bagi truk-truk pengusaha sawit, tambang batubara, tambang mineral dan industri untuk leluasa mengkonsumsi solar bersubsidi.

Khusus untuk Solar, yang diakui pemerintah dikonsumsi oleh dunia usaha, justru selisih harga per liternya dengan Pertalite saat ini sangat besar (Rp 3200). Padahal saat Sudirman Said menjadi Menteri ESDM (2015: terjadi 2 kali perubahan harga), selisih harga tersebut hanya berkisar Rp 400 hingga Rp 900. Tampaknya kebijakan harga Solar ini sangat pro oligarki!

Kelima, Presiden Jokowi telah menggunakan kebijakan harga BBM untuk pencitraan politik demi kekuasaan, terutama saat menjelang Pilpres 2019. Untuk itu, kebijakan harga BBM yang semula “berfluktuasi” sesuai perubahan harga minyak dunia, telah dirubah (ditahan) menjadi “harga tetap” selama lebih dari empat tahun. Padahal inflasi terus terjadi setiap tahun (diperkirakan 2022: 10%).

Baca Juga: Ridwan Kamil Ungkap Pemprov Jabar Siap Kawal Distribusi BLT BBM Tepat Sasaran

Akibatnya, keterkaitan harga-harga barang dan jasa lain terhadap harga BBM yang semula linear dan harmonis, saat harga naik pada 9 September 2022, berubah menjadi hubungan non-liner yang memicu lonjakan tinggi terhadap berbagai harga barang dan jasa lain. Dampak kebijakan ini justru memiskinkan dan menyengsarakan! Politik harga BBM Jokowi yang sebelumnya sarat pencitraan, saat ini telah nyata memakan korban mayoritas rakyat, tak terkecuali para pendukung dan simpatisan Jokowi sendiri.

Keenam, harga BBM dihitung berdasarkan formula yang antara lain mengandung unsur pajak berupa pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Karena menganut paham ekonomi sangat liberal dan tidak berempati kepada nasib rakyat, pemerintah yang seharusnya bisa menghapus pajak di tengah kesulitan ekonomi rakyat, justru tetap mengenakan pajak terhadap harga BBM.

Halaman:

Editor: Asep Saripudin


Tags

Terkait

Terkini