Tolak Kenaikan Harga BBM, IRESS Tuntut Pemakzulan Jokowi, Marwan Batubara Beberkan 11 Poinnya

- 13 September 2022, 09:46 WIB
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM.
Presiden Jokowi dituntut untuk dimakzulkan gegara menaikkan harga BBM. /Foto: Instagram @jokowi/

SEPUTARTANGSEL.COM - Pemerintah telah resmi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Sabtu, 3 September 2022.

Akibat kebijakan tersebut, sejumlah komoditas bahan pokok dan tarif transportasi ikut mengalami kenaikan harga.

Berbagai aksi penolakan pun terus digelar oleh sejumlah elemen mahasiswa, buruh, driver ojek online (ojol), dan lainnya sebagainya.

Baca Juga: Dirut Pertamina Sebut Pertamax Dijual Rugi Meski Harga BBM Naik, Said Didu: Subsidi Orang yang Lebih Kaya?

Tak sedikit pihak yang menilai dinaikannya harga BBM di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang lesu tidak tepat.

Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara.

Dalam tulisannya yang beredar, salah satunya dalam kanal YouTube Refly Harun pada Senin, 12 September 2022, Marwan Batubara menjelaskan alasan logis perlu ditolaknya kebijakan penaikan harga BBM oleh pemerintah.

Adapun 11 poin alasan dan pertimbangan perlunya kenaikan harga BBM ditolak adalah sebagai berikut:

Baca Juga: BBM Naik, Publik Tetap Puas Kinerja Jokowi-Ma'ruf Amin, Survei: Kepuasan Cuma Turun 4 Persen

Pertama, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan ekonomi rakyat yang saat ini masih terpuruk akibat pandemi Covid-19, terutama karena kenaikan harga BBM secara otomatis telah dan akan memicu kenaikan harga berbagai barang dan jasa lain, seperti harga-harga pangan, bahan pokok dan transportasi. Kenaikan inflasipun tak bisa dihindari, dan pada akhir 2022 dapat mencapai 10%.

Kedua, dalam kondisi daya beli yang masih rendah dan beban hidup yang semakin berat, kenaikan harga berbagai barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM, berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Rakyat miskin semakin miskin, sedangkan yang hampir miskin benar-benar akan jatuh miskin! Tingkat kemiskinan minimal akan mencapai 12%.

Ketiga, pemerintah mengatakan subsidi BBM tidak tepat sasaran (86% subsidi Pertalite dan 89% subsidi Solar tak tepat sasaran) dan kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun. Jika penyelewengan ini diatasi, maka kuota BBM bersubsidi tidak naik atau bahkan bisa turun, dan subsidi BBM di APBN pun turun. Sehingga harga BBM tidak perlu naik. Ternyata bukannya mencari solusi dan memperbaiki kondisi *tidak adil* ini, pemerintah malah menzolimi rakyat dengan semena-mena menaikkan harga BBM. Sementara itu penyelewengan dan ketidakadilan dibiarkan tetap berlangsung.

Baca Juga: Gelar Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Kader dan Simpatisan PKS Tangsel Tuai Dukungan

Keempat, diperkirakan kebijakan subsidi solar sarat moral hazard, sebab pemerintah yang menyatakan 89% solar bersubsidi tidak tepat sasaran, penikmatnya adalah dunia usaha. Namun pada saat yang sama pemerintah membuat kebijakan sumir, tidak jelas dan tidak pruden, sehingga membuka celah terjadinya penyelewengan penggunaan Solar bersubsidi, minimal bagi truk-truk pengusaha sawit, tambang batubara, tambang mineral dan industri untuk leluasa mengkonsumsi solar bersubsidi.

Khusus untuk Solar, yang diakui pemerintah dikonsumsi oleh dunia usaha, justru selisih harga per liternya dengan Pertalite saat ini sangat besar (Rp 3200). Padahal saat Sudirman Said menjadi Menteri ESDM (2015: terjadi 2 kali perubahan harga), selisih harga tersebut hanya berkisar Rp 400 hingga Rp 900. Tampaknya kebijakan harga Solar ini sangat pro oligarki!

Kelima, Presiden Jokowi telah menggunakan kebijakan harga BBM untuk pencitraan politik demi kekuasaan, terutama saat menjelang Pilpres 2019. Untuk itu, kebijakan harga BBM yang semula “berfluktuasi” sesuai perubahan harga minyak dunia, telah dirubah (ditahan) menjadi “harga tetap” selama lebih dari empat tahun. Padahal inflasi terus terjadi setiap tahun (diperkirakan 2022: 10%).

Baca Juga: Ridwan Kamil Ungkap Pemprov Jabar Siap Kawal Distribusi BLT BBM Tepat Sasaran

Akibatnya, keterkaitan harga-harga barang dan jasa lain terhadap harga BBM yang semula linear dan harmonis, saat harga naik pada 9 September 2022, berubah menjadi hubungan non-liner yang memicu lonjakan tinggi terhadap berbagai harga barang dan jasa lain. Dampak kebijakan ini justru memiskinkan dan menyengsarakan! Politik harga BBM Jokowi yang sebelumnya sarat pencitraan, saat ini telah nyata memakan korban mayoritas rakyat, tak terkecuali para pendukung dan simpatisan Jokowi sendiri.

Keenam, harga BBM dihitung berdasarkan formula yang antara lain mengandung unsur pajak berupa pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Karena menganut paham ekonomi sangat liberal dan tidak berempati kepada nasib rakyat, pemerintah yang seharusnya bisa menghapus pajak di tengah kesulitan ekonomi rakyat, justru tetap mengenakan pajak terhadap harga BBM.

Ketujuh, alasan BBM bersubsidi menjadi beban APBN adalah alasan yang mengada-ada bahkan cenderung menghina rakyat, karena APBN adalah instrumen untuk mensejahterakan. Hal ini sesuai Pancasila dan amanat konstitusi. Yang terjadi adalah, APBN dinilai telah menjadi instrumen ketidakadilan serta bancakan bagi pengusaha dan kekuasaan oligarkis.

Baca Juga: Erick Thohir Sebut Pemerintah Janji Turunkan Harga BBM, Ini Syaratnya

Kedelapan, sejalan dengan butir ketujuh di atas, Pemerintahan Jokowi menggunakan APBN untuk mendanai pembangunan proyek-proyek pro oligarki dan tidak prioritas, seperti proyek IKN, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang biayanya terus meningkat, impor vaksin tidak transparan yang pengadaannya didominasi swasta, dan proyek-proyek infrastruktur yang ditengarai sarat penggelembungan biaya demi perburuan rente.

Kesembilan, pernyataan pemerintah tentang APBN jebol jika harga BBM tidak naik akibat subsidi membengkak adalah absurd dan sarat kebohongan. Dikatakan ada kebutuhan tambahan subsidi energi Rp 198 triliun terhadap anggaran subsidi saat ini yang besarnya Rp 502 triliun. Padahal pada saat yang sama, kenaikan harga batubara, CPO, minyak dan gas dunia jutsru meningkatkan penerimaan negara SANGAT BESAR (windfall profit taxes), yakni lebih dari Rp 400 triliun. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa tambahan subsidi energi yang disebut Rp 198 triliun jika harga BBM tidak naik, pada dasarnya APBN tidak akan membuat APBN jebol, dan bahkan jauh melebihi kebutuhan tambahan yang nilainya Rp tersebut.

Kesepuluh, di dalam nilai subsidi energi APBN Rp 502 triliun, terkandung nilai subsidi listrik sebesar Rp 60 triliun. Besarnya beban subsidi ini antara lain terjadi akibat kebijakan pemerintah yang *memberi peluang kepada pengusaha listrik swasta* (independent power producer, IPP) pro oligarki untuk menjual listrik kepada PLN dalam kondisi PLN kelebihan pasokan listrik (cadangan berlebih sekitar 50-60%, seharusnya hanya 15-20%).

Baca Juga: PKS Walk Out Sidang Paripurna, Gabung Demo Tolak Harga BBM Naik di Depan Gedung MPR-DPR Senayan

Harga jual listrik tersebut pun menerapkan skema *take or pay* (TOP). PLN terpaksa membeli listrik IPP melebihi kebutuhan dengan harga justru lebih mahal. Akibatnya, harga pokok penyediaan (BPP) listrik naik dan tarif listrik pun ikut naik. Kenaikan ini akhirnya harus ditanggung APBN melalui subsidi listrik dan juga oleh konsumen listrik non-subsidi. Kebijakan listrik pro IPP oligarkis telah menghisap rakyat.

Kesebelas, pemerintah menghitung nilai subsidi BBM atas dasar harga keekonomian BBM berdasar komponen harga beli minyak mentah, nilai alpha (termasuk keuntungan badan usaha), PPN dan PBBKB. Namun rakyat disuguhi informasi tentang harga keekonomian BBM yang tidak kredibel dan berbeda-beda dari pejabat negara yang berbeda. Harga keekonomian BBM ini tidak transparan dan melanggar prinsip good governance, diduga digelembungkan dan patut diduga bernuansa moral hazard.

Sebenarnya masih ada beberapa pertimbangan lain mengapa rakyat harus menolak kenaikan harga BBM, dan hal itu akan diuraikan pada tulisan kedua. Namun, sebelas pertimbangan di atas sudah lebih dari cukup bagi rakyat menolak kenaikan harga BBM.

Dalam hal ini, IRESS menilai telah terjadi pengkhianatan terhadap hak rakyat dan juga terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu, kami mengajak rakyat Indonesia menolak kenaikan harga BBM dan sekaligus menuntut agar Presiden Jokowi segera manjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR dan MK, sesuai Pasal 7 UUD 1945.***

Editor: Asep Saripudin


Tags

Terkait

Terkini