"Di tengah-tengah ketidakmampuan pemerintah, merajalelanya KKN, di tengah-tengah itu ada kondisi yang sekarang secara faktual kita bisa lihat ada indikator-indikator kuantitatifnya bahwa terjadi deindustrialisasi dan kemudian investasi Tiongkok," ujarnya.
Terkait hal itu diperparah dengan kehadiran tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok dalam kapasitas besar, utang yang membengkak hingga membanjirnya produk-produk impor yang masuk ke Tanah Air.
Ironisnya adalah penguasaan aset, baik berupa modal, tanah dan sebagainya hanya dapat dinikmati oleh satu persen penduduk negeri ini.
"Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa sekarang rasio penguasaan aset-aset, baik tanah, modal, dan lain hal sebagainya dinikmati oleh segelintir satu persen dari penduduk Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, peran swasta yang menguasai kapitalisasi itu hanya akan memperkaya para pihak yang terlibat di dalamnya
Lebih lanjut, para pemegang kekayaan maupun akumulasi modal tersebut juga akan menguasai kehidupan politik di Indonesia.
"Nah, disitulah swasta ini menguasai kapitalisasi, kemudian, mereka kaya sendiri dan terlalu kaya sehingga dengan kekayaan dan akumulasi modal mereka itu bisa kemudian menguasai kehidupan politik di Indonesia," ujarnya.
Akibatnya, pemerintah kini kehilangan objektivitasnya karena mendapatkan tekanan yang kuat dari pemerintahan Tiongkok untuk menanamkan investasi di Indonesia.