Ini Masukan Komnas HAM ke Amien Rais yang Berencana Laporkan Tewasnya 6 Laskar FPI Ke Mahkamah Internasional

26 Januari 2021, 16:51 WIB
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. /Foto: Antara/Fathur Rochman/


SEPUTARTANGSEL.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menanggapi rencana pelaporan tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) ke Mahkamah Internasional oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3).

TP3 merupakan bentukan dari tokoh nasional Amien Rais yang juga sebagai Ketua Partai Ummat bersama para koleganya.

Komnas HAM menilai bahwa terbentuknya TP3 ini merupakan bentuk kritikan terhadap lembaga Pembela HAM itu.

Baca Juga: Sebabkan Banjir Bandang, Polisi Hentikan Penambangan Emas Ilegal di Sarolangun, Jambi

Meski begitu, Ketua Komnas HAM mengatakan bahwa pihaknya menghormati atas kritikan yang disampaikan publik.

"Segala bentuk masukan, dukungan, kritik bahkan caci-maki merupakan bagian dari konsekuensi yang harus diterima dengan lapang hati dan sudah biasa dialami, terutama dalam menangani kasuskasus atau membicarakan isu-isu krusial di tengah masyarakat," kata Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulisnya, Senin 25 Januari 2021.

"Salah satu kritik datang dari Bapak Amien Rais dan koleganya yang membentuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya 6 (enam) orang anggota laskar FPI dan kemudian menyatakan kekecewaan atas hasil-hasil penyelidikan maupun rekomendasi Komnas HAM RI," imbuhnya.

Baca Juga: DPR RI Minta Polri Tindak Tegas Ambroncius Nababan Pelaku Ujaran Rasisme

Atas rencana pengajuan kasus tersebut kepada Mahkamah Internasional, Taufan memberi penjelasan terkait mekanisme pengajuan kepada International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag.

Dalam keterangannya, Taufan mengutip pasal 1 Statuta Roma terkait jurisdiksi dari dibentuknya Mahkamah Internasional tersebut.

Menurut pasal 1 Statuta Roma terdapat dua jurisdiksi, yang pertama adalah kasuskasus kejahatan paling serius (the most serious crimes).

Baca Juga: Sandiaga Uno Gandeng Milenial Untuk Promosi Pariwisata Indonesia

"Untuk kasus hak asasi manusia, tentu saja yang dimaksudkan sebagai kejahatan paling serius (the most serious crimes) adalah empat jenis kejahatan yakni kasus kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang dan agresi," tutur Taufan.

Kedua, Mahkamah Internasional hanya akan melengkapi sistem hukum dari negara-negara yang menjadi anggota Statuta Roma.

Pasalnya, kata Taufan, dibentuknya Mahkamah Internasional bukan untuk peradilan pengganti dari suatu sistem peradilan nasional suatu negara.

Baca Juga: Wah, Pemprov DKI Jakarta Anggarkan Rp185 Miliar untuk Hal Ini

"Dengan begitu, Mahkamah Internasional atau ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi “unable” dan “unwilling”," ungkap Taufan.

Sementara, lanjut Taufan, untuk bisa dikatakan sebagai "unable" atau tidak mampu adalah sebagaimana pasal 17 ayat 3 Statuta Roma, bahwa jika suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian.

Sedangkan untuk "unwilling" atau tidak bersungguh-sungguh menurut pasal 17 ayat 2 Statuta Roma adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

Baca Juga: Waduh, Komnas HAM Sebut Rencana Pelaporan Tewasnya 6 Laskar FPI Ke Mahkamah Internasional Tak Akan Diterima

"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja," kata Taufan.

"Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional “collapsed” atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali," imbuhnya.***

Editor: Muhammad Hafid

Tags

Terkini

Terpopuler