Lebaran Yatim dan Pesan KH Idris Kaisan, Ulama Betawi di Cilandak Tengah

- 20 Agustus 2021, 05:30 WIB
Madrasah Hidayatut Thalibin di Cilandak Tengah, Jakarta Selatan yang didirikan KH Idris Kaisan di dasawarsa 70-an hingga kini masih eksis.
Madrasah Hidayatut Thalibin di Cilandak Tengah, Jakarta Selatan yang didirikan KH Idris Kaisan di dasawarsa 70-an hingga kini masih eksis. /Foto: Dok. Yayasan Dana Abadi Surga/

SEPUTARTANGSEL.COM - Istilah "Lebaran Yatim" banyak disebut-sebut beberapa waktu belakangan ini, sejak menjelang masuk bulan Muharram 1443 Hijriah.

Di banyak tempat di Indonesia, yang budayanya diwarnai Islam, tanggal 10 Muharram sering disebut sebagai hari lebaran bagi anak yatim.

Lebaran Yatim juga termasuk menjadi salah satu bagian dari kultur budaya Betawi.

Baca Juga: Lebaran Anak Yatim, Buya Yahya: Anak Yatim Makannya Tidak Hanya di Bulan Muharram

Menurut sejumlah kalangan, Lebaran Yatim ini merujuk pada dalil berikut:

"Diriwayatkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW menyayangi anak-anak yatim, dan lebih menyayangi mereka pada hari 10 Muharram (Asyura) dan menjamu serta bersedekah pada 10 Muharram bukan hanya pada anak yatim tapi keluarga, anak, istri, suami dan orang orang terdekat, karena itu sunnah Beliau Saw dan pembuka keberkahan hingga setahun penuh." (Faidhul Qadir juz 6 hal 235-236).

Pada kisaran tahun 1980-an, penulis yang ketika itu masih usia Sekolah Dasar, pernah mengalami bagaimana Lebaran Yatim menjadi bagian dari kultur Betawi.

Peristiwanya sudah berlalu sekitar 40 tahun silam, namun begitu tertancap di dalam kenangan.

Baca Juga: Sambut Idul Adha, Bertrand Antolin Siapkan 200 Al Quran untuk Yatim

Ketika itu, di dekade 1980-an belum ada trend fullday school seperti sekarang. Namun, seolah ada kesepakatan tak tertulis antara penyelenggara pendidikan ketika itu.

Kesepakatan tak tertulis itu adalah, baik Sekolah Dasar umum maupun Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) sama-sama membuka kelas pagi hingga siang dan kelas siang hingga sore. Di Hari Minggu, sekolah umum libur. Sedang Madrasah, libur di hari Jumat.

Dengan begitu, para orangtua leluasa mengirimkan anak-anak mereka ke dua sekolah tersebut. Pagi hingga siang di sekolah umum, siang hingga sore di sekolah keagamaan (madrasah), atau sebaliknya.

Penulis juga mengalami hal tersebut. Pagi di sekolah umum di SD Yayasan Mahaputera di Cilandak, Jakarta Selatan, lalu siang sepulang sekolah langsung belajar ilmu agama di Madrasah Hidayatut Thalibin di Cilandak Tengah.

Baca Juga: Kolaborasi dengan Kitabisa dan YTAS, SeputarTangsel.Com Salurkan Hadiah Lebaran untuk Yatim-Dhuafa

Suatu hari menjelang 10 Muharram, seperti biasa, sebelum masuk kelas di Madrasah, murid-murid Madrasah berbaris rapi di aula terbuka yang luas.

Sebagian besar murid ketika itu tidak mengenakan alas kaki. Hanya sedikit anak yang mengenakan sandal jepit, apalagi sepatu.

Sebagian besar murid adalah anak-anak Betawi, seperti pendiri dan para pengajar yang mayoritas juga ulama Betawi. 

Biasanya, para ustadz bergantian memberikan tausiyah sebelum mempersilakan barisan yang paling rapi untuk lebih dulu masuk kelas.

Kali ini berbeda. Yang berbicara di depan barisan adalah Kepala Madrasah, (Allah Yarham) Buya KH Idris Kaisan.

Baca Juga: Viral, Aisyah Menjadi Yatim Piatu Karena Pandemi Covid-19

Setelah berucap salam yang diulang lagi karena para murid tak menjawabnya dengan kompak, beliau mulai menyapa.

"Hoi anak-anak..." sapanya dengan gaya dan dialek Betawi yang kental. Maklum, ini memang madrasah di tengah masyarakat Betawi.

"Lu semua tahu ini apaan?" lanjutnya sambil menunjukkan sesuatu yang terbungkus rapi dengan kertas sampul coklat.

"Kagaaaak...(tidak -Betawi) " sahut murid-murid.

"Lu semua kudu tahu. Ini hadiah buat anak-anak yatim. Isinya ada buku, alat tulis sama barang-barang lain. Kenapa anak-anak yang udah pada kagak punya baba (bapak -Betawi) dapet hadiah ini?" tanya Buya Idris lagi.

"Kagaaaak..." lagi-lagi murid-murid menyahut serempak.

Baca Juga: Dana Bantuan Madrasah dan Pesantren Rp500 Miliar Diblokir Pemerintah, Komisi VIII Pertanyakan Alasannya

"Sebab, hari ini hari Lebaran Yatim. Kita semua kudu sayangin temen-temen kita yang udah pada kagak punya baba... Ngartiii (mengerti)?" sahut Buya Idris.

"Ngartiii...." timpal murid-murid.

"Bagus," Buya Idris manggut-manggut. "Jadi, semua murid yang yatim, hari ini bakal dapet hadiah ini," lanjutnya.

Terdengar sorakan lumayan ramai. Rupanya banyak juga anak yatim yang menuntut ilmu di sini.

"Lu semua yang bukan yatim, mau dapet hadiah ini juga?" tanya Buya Idris.

"Mauuuuu...." serempak murid-murid menjawab.

"Boleh. Tapi... matiin dulu baba lu!" Buya Idris menjawab dengan intonasi serius.

Murid-murid kaget dan sontak berteriak, "Haaaah....???"

"Mau kagak, matiin baba lu dulu supaya dapet hadiah kaya temen-temen lu yang udah yatim ini???" tekan Buya Idris.

"Kagaaaak...." riuh rendah murid-murid menjawab.

Baca Juga: Budayawan Betawi Harap Taman Ismail Marzuki Jadi Corong Kesenian Betawi

Buya diam sejenak, memandangi murid-muridnya dengan sayang. Tatapannya menyejukkan. Nada suaranya kembali lembut.

"Nah, lu sayang-sayangin dah baba lu. Jadi anak yang nurut sama orangtua, mumpung lu masih pada punya orangtua yak? Sayang-sayangin juga temen-temen lu yang udah pada yatim... Setujuuu?" ujarnya, menyampaikan pesan yang amat membekas dalam hati.

"Setujuuu...." kompak murid-murid menjawab.

Cara yang luar biasa unik untuk menanamkan pesan. Murid diajak berdialog dan berpikir.

Hasilnya, pesan Lebaran Yatim itu tertanam hingga kini. Sekitar empat dasawarsa sesudahnya.***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini