Junta Militer Blokir Layanan Internet dan Komunikasi, Picu Situasi Kekerasan di Myanmar Semakin Memburuk

3 April 2021, 16:32 WIB
Potret aksi demonstran yang memberikan salam tiga jari di Hledan di Yangon, Myanmar, 14 Maret 2021. /Foto: Stringer / File Photo/REUTERS/
SEPUTARTANGSEL.COM - Kudeta yang terjadi di Myanmar telah menimbulkan kekacauan. 
 
Pasalnya, sejak junta militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021, situasi Myanmar  semakin mencekam karena jumlah korban yang berjatuhan kian bertambah saat melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kudeta. 
 
Kabar terkini, junta militer Myanmar telah memerintahkan penyedia layanan internet untuk menutup akses layanan broadband nirkabel.
Baca Juga: Penjual Senjata ke Tersangka Teroris Mabes Polri, Zakiah Aini Ditangkap Polisi di Aceh
Baca Juga: Politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik Minta PDIP Segera Bangun Solidaritas untuk Rakyat Myanmar
 
Keputusan untuk menutup layanan internet tersebut disebabkan oleh kelompok bisnis yang meminta penghentian layanan internet secara kolektif. 
 
Salah satu penyedia internet, operator telekomunukasi Ooredo mengungkapkan bahwa Kementerian Transportasi dan Komunikasi yang ditunjuk oleh junta militer, meminta untuk mengeluarkan intruksi kepada masyarakat. 
 
Melalui pemberitahuan Kementerian Transportasi dan Komunikasi, mengatakan mulai 2 April 2021, segala layanan data broadband nirkabel akan segera dihentikan hingga pengumuman selanjutnya, seperti dikutip Seputartangsel.com dari Nikkei Asia pada Sabtu, 3 April 2021.
Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Desak AHY dan SBY Agar Segera Minta Maaf kepada Pemerintahan Jokowi
Baca Juga: Amerika Serikat (AS) Akan Bertemu dengan Iran Terkait Kesepakatan Nuklir di Wina, Austria
 
Pemutusan akses layanan internet dikhawatirkan akan membatasi di bidang telekomunikasi dan internet di Myanmar. 
 
Junta militer telah memberlakukan pemadaman data akses internet sebanyak dua kali sejak kudeta, termasuk melakukan pemblokiran platform media sosial dan situs web, penutupan akses internet setiap jam malam, dan melarang adanya akses internet seluler. 
 
Ye Salween, seorang analis asal Myanmar menyebutkan bahwa perintah pemutusan akses internet merupakan suatu upaya dari otoritas militer untuk lebih membatasi arus berita dan komunikasi. 
Baca Juga: Musni Umar: Utang Sudah Menggunung Masih Mau Pindah Ibu Kota Negara
 
Hal ini lantaran sebagian besar rumah warga di Myanmar menggunakan layanan WiFi nirkabel Fiber To The Home (FTTH), 
 
Adapun perusahaan telekomunikasi Mytel, yang merupakan salah satu penyedia operator terbesar di pasar FTTH, yang kini terancam diboikot. 
 
"Selama dua minggu terakhir, akses data seluler telah diputus. Tetapi, masih banyak sekali informasi dan berita yang diposting di platform media sosial. Sementara itu, media lain masih melaporkan berita langsung dari lapangan, seperti foto dan video," kata Ye Salween. 
Baca Juga: Politisi Partai Demokrat Andi Arief Minta Menkopolhukam Mahfud MD Pikirkan Nasib Habib Rizieq dan Syahganda
 
Ye Salween mengatakan penghapusan WIFI nirkabel tersebut bisa menjadi sumber permasalahan, yaitu  seberapa besar junta militer dapat menekan arus berita dan seberapa besar hal tersebut  bisa mempengaruhi bisnis. 
 
Namun, dirinya meyakini  jika junta militer akan tetap mempertahankan pemblokiran. 
 
Sebelumnya, Juru bicara militer Zaw Min Tun mengatakan bahwa bulan lalu pihaknya tidak memiliki rencana untuk mencabut pembatasan internet dan mengklaim bahwa kekerasan yang terjadi saat ini akibat pengaruh provokasi secara online. 
 
"Prioritas utama junta adalah membungkam semua aksi protes dan bentuk perlawanan lainnya. Junta militer pun mengabaikan permohonan dari sejumlah kepentingan bisnis demi terciptanya stabilitas di negaranya," kata analis Ye Salween.
Baca Juga: Resident Evil: Welcome to Racoon City, Tayang Pada 24 November 2021 Mendatang
 
Ye Salween juga meyakini bahwa jenderal militer tidak menyadari atas keputusan tersebut, yang dapat mepengaruhi jalannya operasi konsumen dan usaha kecil apabila tanpa adanya layanan nirkabel. 
 
Sementara itu, Empat Kamar Dagang Asing terkemuka yang mewakili bisnis Australia, Inggris, Prancis, dan Selandia secara terbuka mengutuk dan menyuarakan keprihatinan mereka terhadap pembatasan layanan internet oleh militer. 
 
Pembatasan layanan internet tersebut memicu kekahwatiran terhadap kekerasan junta militer yang semakin memburuk. 
Baca Juga: Gerebek Markas Ormas, Polres Tangerang Amankan Miras dan Alat Hisap Sabu
 
Sejak aksi kudeta pada 1 Februari 2021, Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mencatat total korban tewas semakin meningkat, yaitu dengan jumlah 550 orang, diantaranya 46 anak-anak.***
Editor: Muhammad Hafid

Tags

Terkini

Terpopuler