Mantan Presiden AS Donald Trump Serang Joe Biden, Gedung Putih Ambil Sikap Tak Perduli

1 Maret 2021, 08:35 WIB
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat berbicara dalam Konferensi Aksi Politik Konservatif (Conservative Political Action Conference (CPAC)) di Florida, Minggu 28 Februari 2021 /Foto: REUTERS/ JOE SKIPPER/

SEPUTARTANGSEL.COM - Mantan Presiden AS Donald Trump dituding memiliki rencana untuk melakukan serangan terhadap Presiden AS ke-46 Joe Biden.

Hal itu terungkap dalam pidato Donald Trump pada Konferensi Aksi Politik Konservatif (Conservative Political Action Conference/CPAC) di Florida pada Minggu, 28 Februari 2021 lalu.

Namun, juru bicara Gedung Putih menegaskan bahwa Joe Biden mengabaikan hal tersebut.

Baca Juga: POPULER HARI INI: Sri Mulyani Berduka, Senjata Rahasia Iran Hingga China Lebih Berbahaya Daripada Nazi

Baca Juga: Izin Investasi Miras, Ini Para Penolak dan Pendukung Perpres No 10 Tahun 2021

"Fokus kami jelas bukan pada apa yang dikatakan Presiden Trump di CPAC," ucap Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, dalam pernyataannya kepada wartawan.

Dalam Konferensi Konservatif tersebut, Trump diperkirakan akan memberi sinyal untuk kembali mencalonkan diri di Pilpres AS 2024.

Trump juga diprediksi akan memberikan peringatan kepada Partai Republik yang mendukung pemakzulannya serta melemparkan tuduhan terkait membuka pintu bagi imigran ilegal terhadap Biden.

Baca Juga: Jadwal Acara TV Hari Ini 1 Maret 2021, Lengkap mulai GTV, TransTV, SCTV, Trans7, RCTI, ANTV hingga NET

Baca Juga: 95 Persen Rakyat Papua Pilih Jokowi, Anggota DPD: Dengarkanlah Aspirasi Cabut Izin Investasi Miras

Melihat sikap Gedung Putih yang enggan menanggapi serangan Trump, membuat sejumlah pihak menilai jika ucapan hasutan Donald Trump itu sudah sepantasnya pemerintah federal memberikan tanggapannya.

"Apa pun yang (Trump) katakan yang mengancam tatanan konstitusional akan berada di luar batas dan akan ada, pada dasarnya, garis merah tertentu yang jika Trump melewatinya, Biden akan merasa terdorong untuk mengatakan sesuatu," kata David Gergen, selaku mantan penasihat Presiden Richard Nixon, Gerald Ford, Ronald Reagan dan Bill Clinton.

"Semakin Biden mampu menahan, semakin penting ketika dia menurunkan Trump jika dia memutuskan untuk melakukan itu," ujar Gergen dalam pernyatannya.

Baca Juga: Berangkat Wamil 29 Maret 2021, Ini Pesan Chanyeol EXO Untuk Penggemar

Baca Juga: Safety Mode, Fitur Baru Twitter Untuk Deteksi Netizen Tak Sopan

Menurut para veteran politik dan sejarawan, hal tersebut merupakan sebuah strategi yang tepat dan telah berhasil sebelumnya.

Sikap Biden yang tak acuh terhadap gertakan Trump, mendapatkan dukungan dan apresiasi dari seorang mantan ahli strategi dan direktur Center For Political Future di University of Southern California, Bob Shrum.

“Mengapa seseorang dengan tingkat persetujuan 60 persen harus berkelahi dengan seseorang dengan peringkat persetujuan 33 persen? Itu tidak masuk akal,” kata Shrum, seperti dikutip SeputarTangsel.Com dari Reuters pada Minggu, 28 Februari 2021.

Baca Juga: UU ITE Dituding Sebagai Pasal Karet, Mahfud MD: Bisa Dikencengin, Dilonggarin

Baca Juga: Asah Otak Akhir Pekan, Pecahkan Kuis Ini Agar Besok Kembali Fresh

"Biden mematuhi aturan politik lama, yaitu 'Jangan pernah menghalangi kecelakaan kereta api'," lanjut Bob Shrum.

Berdasarkan jajak pendapat Gallup, Biden telah mendapatkan dukungan dengan bertahan di atas 55% sejak dirinya menjabat sebagai Presiden AS ke-46 pada 20 Januari lalu.

Angka dukungan tersebut meningkat setelah Gedung Putih mendukung untuk memberikan paket bantuan Covid-19 sebesar 1,9 triliun Dolar AS

Baca Juga: Netflix Akan Bikin Serial Versi Animasi 'Terminator'

Baca Juga: China Lebih Berbahaya Daripada Nazi Jerman, Kata Mantan Duta Besar PBB Nikki Haley

Ahli strategi Demokrat Steve Elmendorf juga turut menyetujui atas sikap Biden yang berfokus terhadap sesuatu yang memang perlu diprioritaskan saat melakukan kampanye.

“Salah satu kekuatan besar Biden dalam kampanye ini adalah dia fokus pada masa depan. Dia melakukan apa yang perlu dilakukannya, yaitu berbicara tentang Covid dan ekonomi,” kata Elmendorf.

Sementara itu, Partai Republik berselisih tentang bagaimana menangani warisan Trump.

Baca Juga: Innalillahi, Menkeu Sri Mulyani Berduka, Telah Berpulang Sosok Ini

Baca Juga: GeNose C19 Mulai Diterapkan Secara Random di Pelabuhan Tanjung Priok

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, dalam sidang pemakzulan, mayoritas anggota Senat termasuk tujuh anggota Partai Republik memilih setuju untuk memakzulkan Trump terkait kerusuhan pemberontakan mematikan di Gedung Capitol AS yang terjadi pada 6 Januari 2021 lalu.

Hasil dari pemungutan suara itu menghasilkan 57 anggota Senat yang memberikan pilihan hukuman bagi Trump. Sedangkan, 43 anggota lainnya dinyatakan menolak.

Baca Juga: Suami Ini Jadi Tahu Istrinya Selingkuh Gegara Kondom 'Nyangkut', Kok Bisa?

Baca Juga: Istrinya, Nathalie Holscher Dibilang Selingkuh dengan Manajernya Sendiri, Sule: Mungkin Merasa Kedekatannya

Trump lolos dari pemakzulan lantaran membutuhkan 2/3 atau 67 suara Senat untuk dapat menghukum dirinya atas kerusuhan di ibu kota itu.

"Partai Republik sedang bertengkar dengan diri mereka sendiri tentang Donald Trump," kata Elmendorf.

“Kita harus membiarkan mereka memilikinya dan tidak ikut campur," lanjut Elmendorf. ***

Editor: Sugih Hartanto

Tags

Terkini

Terpopuler