Meski demikian Krisna mengatakan kedua negara tersebut merupakan sumber utama barang impor untuk Indonesia. Ukraina memasok sekitar 24 persen dari total impor gandum Indonesia pada 2020. Dan pupuk impor asal Rusia menyumbang sekitar 15 persen dari total pupuk impor Indonesia.
Kedua negara tersebut juga banyak membeli produk minyak nabati (kelapa sawit) Indonesia, meski jumlah transaksinya hanya sekitar 0,5 persen dari total ekspor sawit Indonesia pada 2020.
Menurutnya, walaupun jumlah impor gandum dari Ukraina tidak terlalu besar, Indonesia tetap perlu mencari sumber pemasok gandum lain untuk menghindari dampak kelangkaan jika perang terus berlanjut.
Hal ini dibutuhkan untuk menghindari kelangkaan dan kenaikan harga pada bahan pangan yang bersumber dari gandum maupun selain gandum.
Dikarenakan, terganggunya pasokan pupuk dunia berpotensi menaikkan harga pupuk yang sudah mahal karena harga gas dan larangan ekspor pupuk oleh China. Selain itu, ketersediaan pasokan pupuk juga tidak kalah penting karena pupuk digunakan oleh semua tanaman.
Krisna kembali mengatakan bahwa relaksasi dapat dilakukan dengan membuka kuota impor. Beberapa komoditas pangan dikenakan kuota impor demi menjaga nilai tukar petani dan juga menjaga volatilitas harga.
Ketika suplai domestik dirasa cukup, maka keran impor akan ditutup. Namun ketika harga mulai dirasa terlalu tinggi, maka keran impor dibuka.
“Akan tetapi, jika harga pangan dunia naik terlalu tinggi melebihi harga domestik, maka meskipun kuota impor dibuka sebebas-bebasnya, maka harga tidak akan turun. Jadi, jika harga domestik naik, kita tinggal buka keran impor. Selama harga internasional selalu lebih rendah daripada harga domestik, maka cara ini akan bisa mengendalikan inflasi,” ujarnya.***