Peneliti Sebut Pemerintah Perlu Pertimbangkan Relaksasi Impor Pangan

- 14 Maret 2022, 13:25 WIB
Ilustrasi beras
Ilustrasi beras /Pictavio/Pixabay

SEPUTARTANGSEL.COM - Lembaga peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan pemerintah perlu mempertimbangkan untuk merelaksasi impor pangan sebagai bentuk antisipasi terhadap kelangkaan dan kenaikan harga komoditas tersebut akibat faktor internal dan eksternal.

Krisna selaku Associate Researcher CIPS mengatakan relaksasi impor bisa digunakan untuk menjaga kestabilan harga.

Saat ini, menurutnya kenaikan harga beras masih lebih terkendali dibandingkan gandum, jagung ataupun kedelai.

Baca Juga: Mensos Risma Marah-marah Lagi, Kali Ini Gara-gara Bantuan Pangan Non Tunai Ditahan Dinsos Tuban

“Sejauh ini inflasi Indonesia masih cukup terkendali. Produk-produk pangan yang selama ini memang dikontrol perdagangannya bisa direlaksasi kuotanya jika memang inflasi mulai menekan," kata Krisna, yang dikutip SeputarTangsel.Com dari Antara pada 14 Maret 2022.

"Kebetulan selama ini harga pangan di Indonesia memang sudah lebih mahal daripada pasar dunia akibat pembatasan impor,” lanjutnya.

Tentu dengan adanya konflik Rusia dan Ukraina memberikan dampak terhadap sejumlah harga komoditas pangan internasional, namun Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup jauh dengan kedua negara tersebut.

Baca Juga: Sistem Pangan Global Rapuh, Hampir 20 Juta Orang Hadapi Krisis Pangan Tahun Lalu

Hal itu bisa dilihat dari nilai total impor kedua negara itu hanya berkontribusi pada sekitar satu persen dari total impor Indonesia. Dan juga jumlah investasi Rusia maupun Ukraina ke Indonesia juga tidak signifikan.

Meski demikian Krisna mengatakan kedua negara tersebut merupakan sumber utama barang impor untuk Indonesia. Ukraina memasok sekitar 24 persen dari total impor gandum Indonesia pada 2020. Dan pupuk impor asal Rusia menyumbang sekitar 15 persen dari total pupuk impor Indonesia.

Kedua negara tersebut juga banyak membeli produk minyak nabati (kelapa sawit) Indonesia, meski jumlah transaksinya hanya sekitar 0,5 persen dari total ekspor sawit Indonesia pada 2020.

Menurutnya, walaupun jumlah impor gandum dari Ukraina tidak terlalu besar, Indonesia tetap perlu mencari sumber pemasok gandum lain untuk menghindari dampak kelangkaan jika perang terus berlanjut.

Baca Juga: Jelang Lebaran, Harga Pangan Terpantau Stabil, Sekko Sebut Harga Daging Naik Rp10 Ribu di Pasar Senen

Hal ini dibutuhkan untuk menghindari kelangkaan dan kenaikan harga pada bahan pangan yang bersumber dari gandum maupun selain gandum.

Dikarenakan, terganggunya pasokan pupuk dunia berpotensi menaikkan harga pupuk yang sudah mahal karena harga gas dan larangan ekspor pupuk oleh China. Selain itu, ketersediaan pasokan pupuk juga tidak kalah penting karena pupuk digunakan oleh semua tanaman.

Krisna kembali mengatakan bahwa relaksasi dapat dilakukan dengan membuka kuota impor. Beberapa komoditas pangan dikenakan kuota impor demi menjaga nilai tukar petani dan juga menjaga volatilitas harga.

Ketika suplai domestik dirasa cukup, maka keran impor akan ditutup. Namun ketika harga mulai dirasa terlalu tinggi, maka keran impor dibuka.

“Akan tetapi, jika harga pangan dunia naik terlalu tinggi melebihi harga domestik, maka meskipun kuota impor dibuka sebebas-bebasnya, maka harga tidak akan turun. Jadi, jika harga domestik naik, kita tinggal buka keran impor. Selama harga internasional selalu lebih rendah daripada harga domestik, maka cara ini akan bisa mengendalikan inflasi,” ujarnya.***

Editor: Dwi Novianto


Tags

Terkait

Terkini