SEPUTARTANGSEL.COM - Wacana penundaan Pemilu 2024 masih menuai kritikan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga pakar serta pengamat politik.
Sebagaimana diketahui, usulan tersebut dikemukakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang mengaku mendapat ide tersebut atas aspirasi dari para pelaku usaha dan ekonomi di Indonesia.
Muhaimin bahkan mengatakan transisi kekuasaan pada Pemilu 2024 dapat menyebabkan ketidakpastian di sektor ekonomi dan bisnis.
Kritikan terkait usulan penundaan Pemilu 2024 itu turut datang dari Pakar hukum tata negara Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur Dr Johanes Tuba Helan.
Dr Johanes Tuba bahkan secara terbuka menyatakan tidak setuju dengan usulan penundaan Pemilu 2024, pasalnya hingga saat ini tidak ada alasan kuat untuk melakukan penundaan.
"Penundaan pemilu hanya mungkin dilakukan jika negara dalam keadaan darurat, tetapi Indonesia sekarang dalam keadaan baik-baik saja," kata Johanes dikutip SeputarTangsel.Com dari ANTARA pada Selasa, 8 Maret 2022.
Menurutnya, penundaan Pemilu hanya dapat dilakukan apabila negara tersebut mengalami kondisi darurat akibat peperangan maupun bencana yang merata.
Terlebih lagi, secara konstitusi telah diatur dalam Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Atas dasar hal tersebut, Dr Johanes bahkan mengkritik sekaligus mempertanyakan pihak yang mengusulkan penundaan Pemilu 2024.
"Pihak yang mengemukakan wacana itu penundaan pemilu, mungkin tidak pernah membaca UUD 1945, sehingga boleh bicara sesuka hati," ungkap Johanes.
Pakar hukum tata negara itu juga menegaskan bahwa, pergantian kepemimpinan nasional baik eksekutif maupun legilatif hanya dapat dilakukan melalui pemilihan umum.
"Maka apabila masa jabatan habis di tahun 2024 harus diganti melalui pemilu, sehingga tidak ada ruang memperpanjang masa jabatan di luar mekanisme pemilu," jelas Johanes.***