Kemudian Refly Harun mengkritik mekanisme penunjukkan langsung Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru tersebut.
Mantan Komisaris Utama Jasa Marga itu menilai seharusnya pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Negara baru harus melibatkan DPR dan DPD.
"Karena ini adalah otorita bagi ibu kota negara, paling tidak ada persetujuan dari DPR dan DPD. Harus DPD juga karena DPD kan sebenarnya juga mewakili kepentingan daerah, harusnya lebih tahu," ujar Refly.
"Jadi baiknya Undang Undang mengatakan bahwa penunjukkan kepala otorita disetujui baik oleh DPR maupun DPD, mestinya begitu," sambungnya.
Hal itu perlu dilakukan agar subjektivitas pemilihan Kepala Otorita itu agak terkurangi.
Namun, DPR dan DPD tidak boleh mempunyai hak pilih, kedua lembaga itu hanya mengatakan 'iya atau tidak'.
"Jadi cukup disodorkan satu nama, kalau tidak ditolak, kalau tidak berarti dicabut diganti yang lain," tutur Refly.
Lebih lanjut, Refly mengungkapkan jika pemilihan itu terjadi deadlock, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).