DPR: KPK dalam Penyadapan, Penggeledahan, dan Penyitaan Jangan Langgar HAM

6 Mei 2021, 23:20 WIB
Logo KPK /Sumber: Antara / Benardy Ferdiansyah/

SEPUTARTANGSEL.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan kewenangannya harus profesional dan tidak melanggar hak asasi manusia atau HAM.

Seperti dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto.

Baca Juga: Ketua Setara Institute Hendardi: Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK Untuk Cegah Intoleransi dan Radikalisme

Dia mengatakan,"Karena upaya paksa ini adalah bagian pelaksanaan kewenangan pro-justicia, maka KPK harus memastikan pelaksanaannya tetap proper dan profesional, dan tidak melanggar hak termasuk HAM.”

Dalam konteks penegakan dan penindakan hukum, KPK diberikan kewenangan dalam melakukan upaya paksa. Termasuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Hal itu dikatakannya terkait Putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan gugatan uji materiil UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.

Baca Juga: Kementerian Agama Gelar Sidang Isbat Awal Syawal 1442 H pada 11 Mei 202

Atas putusan tersebut, upaya penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK tidak perlu lagi mengajukan izin kepada Dewan Pengawas namun cukup memberitahukan.

Didik meminta KPK harus memastikan dalam melaksanakan kewenangan tersebut menghadirkan kepastian hukum adalah menjadi bagian esensi dasar dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.

"Kami menghormati keputusan MK, putusan yang bersifat final dan mengikat ini adalah bagian dari produk sistem ketatanegaraan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh siapapun tanpa kecuali," ujar Didik di Jakarta pada Kamis, 6 Mei 2021.

Baca Juga: Menparekraf Sandiaga Imbau Sektor Pariwisata Adaptasi di Masa Pandemi dan Ketat Prokes

Dikutip dari Antara, Didik berpandangan bahwa upaya paksa KPK diharapkan mampu mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi.

"Dengan Putusan MK ini, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, penyidik dan KPK diberikan ruang serta kewenangan untuk melakukan upaya paksa tanpa harus meminta izin Dewan Pengawas," ujarnya.

Sebelumnya dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan nomor pokok perkara 70/PUU-XVII/2019.

Baca Juga: Sistem Pangan Global Rapuh, Hampir 20 Juta Orang Hadapi Krisis Pangan Tahun Lalu

Gugatan diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid dan kawan-kawan.

MK menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ***

Editor: Ignatius Dwiana

Tags

Terkini

Terpopuler