Para penjajah itu terkekeh-kekeh saat melihat rakyat pribumi yang miskin bersusah payah untuk meraih hadiah-hadiah yang tergantung di atas.
Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, melalui artikel berjudul “Kenapa Harus Panjat Pinang?” yang dipublikasikan pada 16 Mei 2015 mengusulkan panjat pinang tak lagi masuk dalam daftar perlombaan 17 Agustusan karena telah merendahkan martabat bangsa.
Asep juga menampilkan sebuah foto tahun 1917-an ketika dirinya melakukan riset di Museum Tropen, Belanda.
Dalam foto terlihat pribumi tengah berusah payah memanjat pohon pinang untuk mendapat hadiah.
“Orang-orang pribumi yang saling berebut, kemudian terjatuh karena pohon pinang yang licin. Hal tersebut sangatlah lucu bagi penduduk Hindia Belanda, terutama kaum elit seperti orang Eropa, karena melihat orang pribumi yang rela saling berebut untuk sesuatu hal yang tidak berarti di mata mereka,” tulis Asep.
Meski begitu, panjat pinang masih dijadikan salah satu lomba agustusan sampai sekarang.
Terlepas dari sejarahnya, panjat pinang memiliki filosofi yang cukup dalam.
Panjat pinang mengajarkan untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Kegiatan berkelompok ini dinilai mampu melatih kerjasama, kecerdikan, dan saling menopang antar pemain.