Vaksin AstraZeneca Haram tapi Halal? Ini Jawaban Ulama

- 27 Maret 2021, 15:00 WIB
Ilustrasi vaksinasi.
Ilustrasi vaksinasi. /Sumber: Pixabay / Pete Linforth /

SEPUTARTANGSEL.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa vaksin Covid-19 merek AstraZeneca ‘mengandung’ tripsin yang berasal dari hewan babi.

Meskipun vaksin tersebut ‘mengandung’ babi namun MUI menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal untuk digunakan.

Pernyataan MUI pusat ini memang cukup membingungkan masyarakat, khususnya yang masih awam, bagaimana yang haram bisa sekaligus haram?

Baca Juga: Sein Kanan Malah Belok KIri, Ternyata Ini Alasannya

Baca Juga: Duh, Menkes Sebut RI Waspada Embargo Vaksin Covid-19 di Dunia

Lalu apa bagaimana para ulama menjawab kebingungan masyarakat? Begini penjelasannya.

Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa bisa dijatuhkan pada sesuatu tergantung pada objek dan peristiwa hukum. Khususnya melihat kondisi, waktu, dan keadaan.

Baca Juga: Luhut Binsar Pandjaitan Dukung Mudik Lebaran Ditiadakan, Ini Alasannya

Baca Juga: Menteri Kesehatan Janjikan Anak Muda Dapat Vaksin Covid-19, Ini Syaratnya

1. Keadaan Darurat

Mengenai masalah vaksin mengandung tripsin babi yang haram menjadi halal,yang pertama adalah harus ditekankan terlebih dahulu bahwa babi itu haram, namun dalam Qur’an ada pengecualian ketika dalam kondisi terpaksa.

    فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “...Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maaidah ayat 5)

Inti yang didapat dalam ayat ini, peristiwa yang membuat ‘keterpaksaan’, maka hukumnya dimaafkan, Abdul Wahab Khalaf dalam kitab ilmu ushul fiqh, menyebut kedaruratan dapat melahirkan keringanan (rukhshah).

Sehingga menggunakan barang-barang haram demi maslahat dapat dibenarkan, sebagaimana kaidah fiqh dalam Kitab Al-Wajiz: “adh-Dhaūrāt Tubīhu al-Mahzūrāt (keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang )”.

Karena vaksin sangat dibutuhkan untuk menghentikan laju infeksi, maka penggunaan vaksin untuk imunisasi dibolehkan karena keadaan mendesak.

Baca Juga: Sertifikat Vaksin Covid-19 sebagai Surat Jalan

Baca Juga: Kapal Kontainer Raksasa Ever Given Terdampar di Terusan Suez, Perdagangan Dunia Terpukul

2. al-Istihalah

Syaikh Muhammad Husein Falah Zadeh dalam buku Fikih Praktis, menjelaskan bahwa dalam fiqh Islam terdapat suatu hukum ‘jika benda najis berubah dzatnya menjadi benda yang suci, maka benda tersebut menjadi suci’.

Contohnya bangkai hewan yang najis sudah bertahun-tahun mati berubah menjadi tanah maka tanah tersebut dinyatakan suci dan dapat digunakan untuk tayamum.

Gus Nadirsyah Hosen menjelaskan bahwa menurut Ibnu Abidin, kalau tubuh babi tenggelam di laut lalu tubuhnya hancur dan berubah menjadi garam, maka garamnya adalah halal, kenapa? karena dzat babi sudah menghilang dan menjadi dzat garam.

Karena dalam vaksin yang diambil adalah dzat kimia dalam tubuh babi, yaitu tripsin, maka jika unsur-unsur babinya hilang otomatis vaksin tersebut halal.

Baca Juga: Jokowi Pastikan Sampai Juni 2021 Tidak Ada Impor Beras, Hentikan Perdebatan

Baca Juga: Resmi! Pemerintah Kembali Larang Mudik Tahun Ini

3. Istihlak

Dalam fiqh Islam juga ada istilah ‘Istihlak’ yaitu jika suatu benda najis bercampur dengan benda suci, jika unsur benda sucinya lebih dominan, maka hukumnya adalah suci.

Syaikh Abu Syuja’ Al-Asfihani dalam kitab Matn al-Ghayah wa Taqrib (di pesantren disebut kitab Taqrib atau Matan Abu Syuja), menegaskan bahwa jika air dua kullah (270 liter air) kemasukan najis namun tidak mengubah warna, rasa dan bau, maka air tersebut adalah suci.

Karena vaksin bukan hanya terbuat dari unsur tripsin namun juga zat-zat lainnya yang dibolehkan, maka hukum vaksin tersebut menjadi boleh.

Inilah tiga dalil mengapa MUI membolehkan vaksin yang mengandung zat babi di dalamnya.***

Sumber:

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani,2003

Syaikh Abu Syuja’ al-Asfihani, Fiqh Islam Tradisi, Surabaya: Ampel Mulia, 2008

Muhammad Husein Falah Zadeh, Fikih Praktis untuk Pemula, Jakarta: Al-Huda, 2015

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih, Jakarta: Al-Kautsar, 2013

nadirhosen.net

Editor: Ignatius Dwiana


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah