SEPUTARTANGSEL.COM – Gas air mata dan pemadam kebakaran terus mengelilingi para demonstran, mereka terus melawan dengan melempar batu dan meneriakan suara-suara protes pada rezim junta militer yang mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021 lalu.
Situasi kacau yang melanda Burma (julukan untuk Myanmar) membuat perusahaan asing hengkang dari negara tersebut membawa modalnya.
Sejumlah proyek konstruksi yang diinvestasikan oleh Thailand dan Australia di Shan, Myanmar, langsung dihentikan setelah militer menguasai negara tersebut.
Baca Juga: Kabar Gembira Bagi Pesepeda, MRT Jakarta Izinkan Sepeda Dibawa Masuk Gerbong 24 Maret 2021 Mendatang
Embargo ekonomi yang dilakukan oleh Uni Eropa dan juga Amerika Serikat pada rezim junta, membuat keadaan ekonomi Burma menjadi makin memburuk.
Sebulan pasca kudeta ekonomi Myanmar hampir lumpuh akibat protes dari warga yang turun ke jalan, para pekerja ikut mogok bahkan ada yang ikut bersama para mahasiswa dan dokter untuk berdemonstrasi menentang pemerintahan militer.
Dikutip SeputarTangsel.com dari kantor berita The Guardian, Program Pangan Dunia PBB telah memperingatkan krisis politik di Myanmar akan berimbas pada krisis ekonomi yang lebih serius dan berat.
Baca Juga: ASEAN Beri Sanksi Atas Kudeta dan Kekerasan Militer di Myanmar, Begini Detailnya
Baca Juga: Melawan Menuver China, AS dan Jepang Resmi Kerjasama Militer
Beberapa saat setelah militer melakukan kudeta, harga pangan dan minyak naik secara drastis.
Kenaikan harga pangan dan bahan bakar tersebut tentu saja disebabkan oleh kekacauan politik dan konflik yang berlarut-larut.
Hingga saat ini, harga eceran untuk minyak sawit telah naik 20 persen sejak Februari lalu, sedangkan di kota Mandalay harga beras yang menjadi makanan pokok telah mengalami kenaikan sebesar 4 persen hanya dalam waktu tiga minggu.
Di beberapa kota seperti Bhamo dan Putaro harga beras naik menggila sebesar 35 persen, jauh dari harga beras di kota Mandalay.
Program Pangan Dunia (WFP) turut prihatin dengan keadaan ekonomi di Myanmar, harga yang menggila dan banyak pabrik yang tutup merupakan konsekuensi dari ketidakstabilan politik Myanmar.
Perwakilan WFP untuk Myanmar, Stephen Anderson mengatakan bahwa biaya bahan bakar telah meningkat 15 persen di seluruh negeri pada bulan Februari ketika pemerintah pasca kudeta menguasai negeri tersebut.
“Jika situasinya berlarut-larut, saya pikir krisis ekonomi ini akan semakin serius,” ujar Anderson.
Sayangnya, hingga detik ini pemerintah junta militer belum merespon fakta-fakta di lapangan mengenai merosotnya ekonomi di Myanmar.
Kantor berita yang dikelola oleh pemerintah hanya memberitakan bahwa para petani di negara tersebut berharap harga bawang dan buncis yang mereka hasilkan bisa membaik.***