SEPUTARTANGSEL.COM - Kondisi udara di ibu kota India, New Delhi kini berubah menjadi berbahaya.
Penduduk New Delhi, terbangun dengan kondisi langit kelabu karena kualitas udara yang menurun.
Hal tersebut terjadi karena Festival Diwali yang baru saja selesai diselenggarakan.
Meledakkan petasan pada Festival Diwali telah menjadi tradisi yang sulit dihentikan meski telah dilarang oleh pemerintah India.
Dikutip SeputarTangsel.Com dari Reuters, Jumat 5 November 2021, hingga Kamis malam 4 November 2021, banyak penduduk di seluruh kota Delhi yang melakukan hal tersebut.
Kondisi udara yang menurun akibat festival Diwali menambah polusi di Delhi yang sebelumnya telah buruk akibat emisi kendaraan, industri, debu, dan pola cuaca.
Pada saat musim dingin dan penduduk negara tetangga membakar jerami, udara akan sangat beracun.
Baca Juga: Dua Pasukan Berhadapan, India dan China Gagal Temukan Kesepakatan untuk Redakan Ketegangan
Kini Indeks Kualitas Udara atau AQI melonjak menjadi 463 pada skala 500, menjadi yang tertinggi selama tahun 2021.
Kondisi tersebut sangat mempengaruhi orang sehat apalagi bagi penduduk yang memiliki penyakit pernafasan.
AQI menunjukkan konsentrasi partikel beracun PM 2.5 dalam meter kubik udara.
Baca Juga: Hujan Deras di India Picu Banjir dan Tanah Longsor, Sedikitnya 125 Orang Tewas
Delhi merupakan kota dengan penduduk hampir 20 juta orang, pada Jumat ini pembacaan PM 2.5 rata-rata 706 mikrogram.
Organisasi Kesehatan Dunia menganggap jumlah rata-rata tahunan di atas 5 mikrogram merupakan kondisi tidak aman.
Pada pagi hari setelah selesai Festival Diwali, kabut asap yang tebal mengubah siang menjadi seperti senja.
Baca Juga: Pakistan Hentikan Kontak dengan India Gegara Gagal Bangun Kepercayaan
Di dalam kota dan sekitar Delhi, lampu mobil dan gedung nyaris tidak dapat menembus kegelapan.
Sisa-sisa petasan dari Festival Diwali tersebar di mana-mana dan menutupi tanah.
"Larangan petasan tampaknya tidak berhasil di Delhi, yang menyebabkan tingkat polusi berbahaya menambah sumber-sumber abadi yang ada," kata Sunil Dahiya, analis di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA).***