Trending Indonesia 1958 di Twitter, Berikut Ini Sejarahnya

- 18 Maret 2022, 15:12 WIB
Viral di Twitter, Penjelasan Banner Supporter Red Star Belgrade yang Membawa Nama Indonesia 1958
Viral di Twitter, Penjelasan Banner Supporter Red Star Belgrade yang Membawa Nama Indonesia 1958 /Twitter

SEPUTARTANGSEL.COM - Trending di Twitter Indonesia 1958. Cuitan Indonesia 1958 sudah ribuan pada 18 Maret 2022.

Indonesia 1958 mencuat setelah Penggemar Klub Sepak Bola Serbia 'Crvena Zvezda' mengangkat spanduk pada pertandingan Liga Europa yang mencantumkan serangan AS ke negara-negara asing dan mengatakan: "Yang kami katakan hanyalah memberi dunia kesempatan."

Foto banner tersebut mencantumkan nama beberapa negara yang diporak-porandakan AS, termasuk Indonesia yang terjadi 1958 silam lewat peristiwa perang saudara antara pemerintah pusat dengan Permesta.

Baca Juga: MotoGP Mandalika, Warga Boleh Menonton dari Bukit dengan Pengawasan, 2 Barang Ini Dilarang Dibawa

Permesta merupakan kepanjangan dari Perjuangan Semesta sebuah gerakan militer di Indonesia yang dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2 Maret 1957.

Di tanggal 15 Februari 1958, sebuah Dewan Perjuangan di Padang mengumumkan terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dikutip SeputarTangsel.Com dari Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 8 No. 2 (2018), dasar perjuangan gerakan Permesta yang tercantum dalam proklamasi 2 Maret 1957 yaitu telah hidup pemikiran bahwa peristiwa itu merupakan senjata anti komunis dan langkah politis yang berpihak pada blok Barat.

Baca Juga: Dua Polisi Penembakan Mati Enam Laskar FPI KM 50 Bebas dari Hukuman Pidana

Pihak lain, yakni Pemerintah Amerika Serikat (AS) memiliki kepentingan atas Indonesia.

Dikarenakan, letak strategis Indonesia di Asia Tenggara dikhawatirkan akan mengganggu penetrasi ekonomi bebas AS di wilayah itu apabila Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah AS, termasuk menjalin komunikasi dengan para perwira pembangkang dan suplai senjata dan pelatihan militer untuk milisi PRRI-Permesta.

Dasar kepentingan yang sama, yaitu anti komunisme membuat kerja sama antara para perwira pembangkang dan pemerintah AS berjalan meskipun dalam beberapa kesempatan pemerintah AS membantah terlibat secara langsung.

Baca Juga: Ridwan Kamil Beri Tiket MotoGP Mandalika kepada Tjetjep Euwyong Heriyana, Netizen: Baru Tahu ada Juara

Pemerintah AS tampaknya khawatir bahwa keberhasilan kaum komunis di Cina pada 1949 (berdirinya RRC) terulang di Indonesia.

Sementara itu, pemerintah Indonesia menolak kerja sama dengan AS dalam rangka teori domino (pembendungan komunisme).

Keterlibatan AS dalam memberikan suplai senjata itu diakui salah satu tokoh Permesta, Lengkong Worang. Menurutnya, ketika perang Permesta dimulai, ada ribuan pucuk senjata api dan senjata mesin lengkap dengan amunisi yang dimiliki Permesta.

Belum lagi ditambah dengan sejumlah mortir 81 mm, truk pengangkut, mobil jip, pesawat tempur yang tersedia.

Baca Juga: Felix Siauw Kritisi Mendag Lutfi: Kurang Radikal Apa Nih, Minyak Goreng Langka, Rakyat sengsara

Kemudian, di Lapangan Udara Mapanget (saat ini berubah menjadi Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi, Manado) sering terparkir sejumlah pesawat tempur jenis B-26 dan diawaki sendiri oleh pilot AS.

Melalui penuturannya, ketika Lengkong Worang berkeliling dengan Landrovernya, terutama ketika menempatkan senjata bantuan 12,7 dan mortir 81 mm di daerah sekitar Lapangan Terbang Mapanget, terlihat sejumlah Perwira AS sedang beristirahat.

Namun, kekuatan udara dan bantuan asing itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Pada bulan Mei 1958, seluruh peralatan perang itu ditarik kembali dan dukungan AS dihentikan.

Tindakan itu menimbulkan kekecewaan yang sangat besar pada pihak Permesta. Maka, sejak serangan pusat, pasukan PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Minahasa bertempur sendiri tanpa personel asing.

Baca Juga: Akses Jalan Menuju Sirkuit Mandalika Mulai Disekat, Berikut Daftar Pos Penyekatannya

Perubahan itu berkaitan dengan kebijakan AS. Pada Maret 1958, AS mengganti dubesnya di Indonesia dengan Howard P. Jones. Setiba di Indonesia ia menghubungi tokoh seperti Soekarno, Hatta, Djuanda, Nasution dan mengambil kesimpulan bahwa di Jakarta masih ada tokoh anti komunis yang dapat diandalkan.

Oleh karena itu, ia menganjurkan kepada pemerintahnya untuk membantu mereka, terutama dalam bentuk senjata dan bantuan ekonomi. Pada mulanya AS ragu-ragu dan mengajukan syarat agar Jakarta menempuh cara penyelesaian politis, yaitu berunding dengan PRRI/Permesta.

Berdasarkan Laporan Bulanan Kepala Staf Angkatan Udara 17 Februari 1959, terdapat dua orang yang ditahan dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, yaitu Allan Laurence Pope, berkebangsaan AS dan seorang WNI, Jan Harry Rantung. Mereka berdua ditahan sejak 18 Mei 1958.

Penangkapan itu menghebohkan karena Pope berkaitan dengan CIA. Sebelum Allan Laurence Pope tertembak, Perdana Menteri Djuanda telah membuat pernyataan pada 30 April 1958 yang mensinyalir keterlibatan asing dalam aktivitas PRRI. Akhirnya pertempuran mereda, dan Permesta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.***

Editor: Taufik Hidayat


Tags

Terkait

Terkini

x