Hari Santri, Dijanjikan 1 Muharram Ditetapkan 22 Oktober, Ini Ceritanya

- 22 Oktober 2021, 13:48 WIB
Para santri Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Para santri Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. /Foto: Seputar Tangsel/Sugih Hartanto/

SEPUTARTANGSEL.COM – Sejarah peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober berawal dari janji kampanye calon Presiden dan calon Wakil Presiden, Jokowi-Jusuf Kalla dalam laga Pilpres 2014.

Semula, Hari Santri Nasional akan ditetapkan pada 1 Muharram. Hal itu disampaikan sebagai salah satu janji kampanye Jokowi dalam Pilpres 2014.

Janji menetapkan Hari Santri ini dilontarkan Jokowi saat berkampanye di beberapa pesantren yang menjadi basis Nahdliyin. Jokowi ketika itu menyatakan ingin menjadikan tanggal 1 Muharam sebagai Hari Santri.

Baca Juga: Permintaan Maaf Deddy Corbuzier Terkait Komentar Santri Tutup Telinga Dilihat Lebih dari 1,3 juta di Instagram

Janji itu disambut antusias kalangan santri, Kiai dan pondok pesantren pada umumnya.

Belakangan, setelah Jokowi terpilih, kalangan pondok pesantren menagih janji tersebut. Namun, sejumlah tokoh menyarankan agar Presiden Jokowi tidak memilih tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.

Salah satu yang menyarankan agar Presiden Jokowi tidak menetapkan Hari Santri Nasional bertepatan dengan 1 Muharram adalah Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.

Hidayat menyarankan agar Presiden Jokowi memilih tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

"Jangan 1 Muharam sebagai Hari Santri," kata Hidayat di kompleks DPR, Jumat, 24 Oktober 2014, dikutip dari Tempo.co yang terbit Sabtu, 25 Oktober 2014.

Baca Juga: Deddy Corbuzier Minta Maaf Soal Santri Tutup Telinga, KH Cholil Nafis: Dimaafkan, Namun Jadi Pembelajaran

Berita dari hasil doorstop interview (wawancara cegatan) sejumlah wartawan kepada Hidayat ini, di antaranya ketika itu juga tayang di Tribunnews pada Jumat, 24 Oktober 2014.

Hidayat beralasan, momen itu merupakan tahun baru umat Islam yang diperingati di seluruh dunia.

"Baik untuk yang santri maupun tidak," tambah Hidayat yang juga pernah menjadi santri di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.

Hidayat pun mengusulkan peringatan Hari Santri Nasional diputuskan sesuai dengan peristiwa besar yang terkait dengan warisan atau jasa santri.

"Misalnya, 22 Oktober saat Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan fatwa resolusi jihad," jelasnya.

Hidayat mengaku sudah mengkomunikasikan hal itu dengan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama Said Aqil Siradj.

"Beliau sepertinya setuju," katanya.

Baca Juga: Klarifikasi Deddy Corbuzier: Saya Goblok Aja Tidak Tahu Kalau Mereka Santri Penghafal Al-Qur’an

Hidayat menyebut alasannya mengusulkan 22 Oktober sebagai Hari Santri dan bukan 1 Muharram, adalah merujuk satu peristiwa bersejarah, yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.

Saat itu, Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar PBNU menetapkan resolusi jihad melawan pasukan kolonial di Surabaya, Jawa Timur.

Peran ini sangat terlihat pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 di saat pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya.

Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu.

Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia.

Baca Juga: Oki Setiana Dewi Sulap Rumah Masa Kecilnya untuk Para Santri Penghafal Al-Qur'an Maskanul Huffadz Batam

Terutama, terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya. Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia.

Dokumen Resolusi Djihad fi Sabilillah Nahldatoel Oelama, 22 Oktober 1945.
Dokumen Resolusi Djihad fi Sabilillah Nahldatoel Oelama, 22 Oktober 1945.

 

Resolusi ini membawa pengaruh yang besar. Bahkan, ada dampak besar setelah Hasyim Asy'ari menyerukan resolusi ini.

Hal ini kemudian membuat rakyat dan santri melakukan perlawanan sengit dalam pertempuran di Surabaya. Banyak santri dan massa yang aktif terlibat dalam pertempuran ini.

Perlawanan rakyat dan kalangan santri ini kemudian membuat semangat pemuda Surabaya dan Bung Tomo turut terbakar.

Hingga akhirnya perjuangan tersebut menewaskan pemimpin Sekutu Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby.

Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung pada 27-29 Oktober 1945. Hal inilah yang memicu pertempuran 10 November 1945.

Baca Juga: Presiden Jokowi Apresiasi 7 Ponpes Sekaligus Gelar Vaksinasi untuk Para Santri

Di pertempuran inilah Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya dengan tiga kali pekik takbir Allahu Akbar dan sekali pekik Merdeka.

Hari Santri ini tidak hanya merujuk pada komunitas tertentu, tetapi merujuk mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat La ilaha illa Allah.

Penetapan Hari Santri Nasional ini dimaksudkan untuk meneladankan semangat jihad kepada para santri tentang keindonesiaan yang digelorakan oleh para ulama.

Belakangan, Presiden Jokowi menetapkan Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta.

Sejak saat itu, setiap tanggal 22 Oktober diperingati Hari Santri Nasional di seluruh Indonesia sebagai pemenuhan janji kampanye Jokowi-JK. ***

Editor: Sugih Hartanto


Tags

Terkait

Terkini

x