Yahya Waloni Bebas dari Penjara, Abdullah Al Katiri: Bercerita Hukum Islam di Masjid Bukan Ujaran Kebencian

3 Februari 2022, 09:30 WIB
Abdullah Al Katiri sebut kliennya, Yahya Waloni tidak membuat dan menyebarkan video ujaran kebencian /Tangkap Layar YouTube Refly Harun/

 

SEPUTARTANGSEL.COM - Ustadz Yahya Waloni resmi bebas dari Rutan Bareskrim Polri pada Senin, 31 Januari 2022 lalu.

Sebelumnya, Yahya Waloni divonis 5 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN Jaksel) terkait kasus ujaran kebencian.

Hakim menyatakan Yahya Waloni bersalah karena melanggar Pasal 45a ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga: Ustadz Yahya Waloni Resmi Bebas dari Penjara, Mustofa Nahrawardaya: Gantian Sama Edy Mulyadi

Selain vonis 5 bulan penjara, Yahya Waloni juga dijatuhi denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan.

Menanggapi hal ini, Kuasa hukum Yahya Waloni, Abdullah Al Katiri mengatakan bahwa yang bersangkutan seharusnya tidak dikenakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

"Pasal 28 ayat (2) itu adalah penyebaran, penyebarannya. Siapa yang menyebarkan, maka dikenakan. Dan Ustadz tidak menyebarkan. Baik yang mengambil, maupun yang menyebarkan bukan ustadz," kata Abdullah Al Katiri.

Baca Juga: JPU Tuntut Yahya Waloni 7 Bulan Penjara, Ferdinand Hutahaean: Terlalu Ringan, Harusnya Tuntut Seberat-beratnya

"Di dalam pasal itu, ada istilah sengaja dan tanpa hak, dan itu tidak bisa dipisahkan," sambungnya.

Menurut Abdullah Al Katiri, seorang dai berhak berceramah di dalam masjid dan tidak bisa disebut sebagai ujaran kebencian.

"Di masjid, bercerita hukum Islam, hukum Quran, tidak bisa itu dikatakan ujaran kebencian," tegasnya, dikutip SeputarTangsel.Com dari kanal YouTube Refly Harun pada Kamis, 3 Februari 2022.

Baca Juga: Ali Mochtar Ngabalin Sebut Rocky Gerung Akan Susul Ustadz Yahya Waloni dan Muhammad Kace

Lebih lanjut Abdullah Al Katiri memaparkan, Pasal 28 UU ITE merupakan kelanjutan dari Pasal 156 KUHP, di mana yang dimaksud sebagai golongan adalah golongan penduduk sesuai dengan hukum tata negara. Misalnya China, Arab, Eropa, dan sebagainya.

Karenanya, Abdullah Al Katiri menuturkan, pernyataan 'setiap kelompok adalah golongan' dalam kasus kliennya perlu dipertanyakan.***

 

Editor: H Prastya

Tags

Terkini

Terpopuler