Tak Cukup Hanya Jadi Orang Baik, Gus Hilmy Minta Santri Teladani Semar

25 Oktober 2021, 09:53 WIB
Gus Hilmy Muhammad pada acara Refleksi Hari Santri dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan oleh PW IPNU-IPPNU DIY di Gedung PWNU DIY. /Foto: suaramerdeka.com/

SEPUTARTANGSEL.COM - Menjadi santri, tak cukup hanya menjadi orang baik, tetapi harus bermanfaat.

Karena itu, para santri disarankan meneladani tokoh pewayangan Semar Badranaya.

Tokoh Semar dipandang lebih pantas diteladani daripada saudara-saudaranya, yaitu Togog dan Batara Guru.

Baca Juga: Hari Santri, Dijanjikan 1 Muharram Ditetapkan 22 Oktober, Ini Ceritanya

Demikian dituturkan Pembina Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) DIY Hilmy Muhammad.

Senator RI asal DI Yogyakarta itu mengungkapkan hal tersebut pada acara Refleksi Hari Santri dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan oleh PW IPNU-IPPNU DIY di Gedung PWNU DIY, Sabtu 23 Oktober 2021 malam.

“Mengapa Semar Badranaya lebih dipandang dan dihormati daripada saudara-saudaranya, yaitu Togog dan Batara Guru? Tak lain karena Semar berani keluar dari zona nyamannya di Kahyangan,” kata pria yang juga akrab disapa Gus Hilmy ini, dikutip SeputarTangsel.Com dari Suara Merdeka.

"Semar turun ke jalan, ke keramaian untuk memperbaiki keadaan. Oleh sebab itu, ajaran Semar tak hanya tersebar luas, tapi juga membumi," sambungnya.

Baca Juga: Permintaan Maaf Deddy Corbuzier Terkait Komentar Santri Tutup Telinga Dilihat Lebih dari 1,3 juta di Instagram

Gus Hilmy menjelaskan, sikap Semar layak diteladani oleh para santri, para anggota IPNU-IPPNU untuk turun ke jalan, dalam arti mengambil peran di masyarakat.

Sebab, tetap berada di zona nyaman tidak akan memberikan dampak apa-apa pada lingkungan.

Hal inilah salah satu yang bisa dicontoh dari para ulama, yang berjuang dan mengambil risiko.

Para ulama dihormati, lanjut Gus Hilmy, bukan hanya karena kepandaian dalam ilmu agama dan kemampuan mereka mengurus pesantrennya, tapi lebih dari itu adalah karena perannya di masyarakat.

Mereka dihormati karena cancut taliwondo, mau menyingsingkan lengan bajunya, turun langsung ke masyarakat.

“Dan ini tidak perlu menunggu tua, dimulai dari sekarang. Yang kita latih adalah kepedulian, kesetiakawanan sosial,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.

Baca Juga: Wayang Kulit Disosialisasikan Sebagai Media Pendidikan Karakter

Peran yang dimaksud oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut adalah dengan mengambil tantangan zaman.

Jika di masa awal sejarah Hari Santri, Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan penjajah, maka tantangan hari ini adalah pergaulan bebas, narkoba, judi online dan taruhan yang marak di kalangan pemuda, ugal-ugalan di jalan raya, dan berbagai kenakalan remaja lainnya.

Gus Hilmy mencontohkan keprihatinannya. Hari-hari ini Jogja memiliki masalah yang luar biasa. Barangkali karena berkah pandemi sehingga menjadi agak berkurang.

Masalah ini juga menjadi keprihatinan para tokoh, Gubernur, Wali Kota, dan stakeholder lainnya, prihatin dan resah dengan adanya klitih.

Melakukan kejahatan dengan melukai orang lain menggunakan senjata tajam atau batu, itu dibangga-banggakan dan kemudian disebarkan videonya.

Baca Juga: Deddy Corbuzier Minta Maaf Soal Santri Tutup Telinga, KH Cholil Nafis: Dimaafkan, Namun Jadi Pembelajaran

Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka dengan judul: "Santri Perlu Keluar dari Zona Nyaman, Gus Hilmy: Semar Badranaya Patut Dicontoh"

“Tantangan hari ini mewajibkan kita untuk senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi munkar, sekaligus menjadi lahan dakwah yang luar biasa bagi kita semua, utamanya bagi calon generasi kiai seperti IPNU-IPPNU," ujarnya.

"Jika perlu, IPNU-IPPNU bisa merangkul dan menjadikan pelaku klitih sebagai anggota, bukan memusuhi. Sejatinya, mereka sedang salah jalan dan perlu ditunjukkan jalan yang benar. Harapannya mereka bisa menggunakan keberanian yang dimiliki untuk hal-hal yang baik,” imbuh Wakil Rois Syuriah PWNU DIY tersebut.

Gus Hilmy juga menegaskan, yang disebut santri bukan hanya yang berada di pondok pesantren, melainkan siapa saja yang menjadikan Kiai dan Bu Nyai sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. *** (Andika Primasiwi/Suara Merdeka)

Editor: Sugih Hartanto

Tags

Terkini

Terpopuler