Ketika itu, di dekade 1980-an belum ada trend fullday school seperti sekarang. Namun, seolah ada kesepakatan tak tertulis antara penyelenggara pendidikan ketika itu.
Kesepakatan tak tertulis itu adalah, baik Sekolah Dasar umum maupun Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) sama-sama membuka kelas pagi hingga siang dan kelas siang hingga sore. Di Hari Minggu, sekolah umum libur. Sedang Madrasah, libur di hari Jumat.
Dengan begitu, para orangtua leluasa mengirimkan anak-anak mereka ke dua sekolah tersebut. Pagi hingga siang di sekolah umum, siang hingga sore di sekolah keagamaan (madrasah), atau sebaliknya.
Penulis juga mengalami hal tersebut. Pagi di sekolah umum di SD Yayasan Mahaputera di Cilandak, Jakarta Selatan, lalu siang sepulang sekolah langsung belajar ilmu agama di Madrasah Hidayatut Thalibin di Cilandak Tengah.
Baca Juga: Kolaborasi dengan Kitabisa dan YTAS, SeputarTangsel.Com Salurkan Hadiah Lebaran untuk Yatim-Dhuafa
Suatu hari menjelang 10 Muharram, seperti biasa, sebelum masuk kelas di Madrasah, murid-murid Madrasah berbaris rapi di aula terbuka yang luas.
Sebagian besar murid ketika itu tidak mengenakan alas kaki. Hanya sedikit anak yang mengenakan sandal jepit, apalagi sepatu.
Sebagian besar murid adalah anak-anak Betawi, seperti pendiri dan para pengajar yang mayoritas juga ulama Betawi.
Biasanya, para ustadz bergantian memberikan tausiyah sebelum mempersilakan barisan yang paling rapi untuk lebih dulu masuk kelas.
Kali ini berbeda. Yang berbicara di depan barisan adalah Kepala Madrasah, (Allah Yarham) Buya KH Idris Kaisan.