SEPUTARTANGSEL.COM - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha kini kembali disorot publik usai beberapa kali menyindir Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Melalui video yang beredar di media sosial, Giring Ganesha meyebut Anies Baswedan pembohong. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia akan suram apabila dipimpin pembohong yang pernah dipecat Jokowi.
Tak berselang lama usai berikan sindiran menohok kepada Anies Baswedan, status Giring Ganesha pun dibongkar netizen. Mantan vokalis Nidji itu diketahui pernah di-drop out (DO) atau dikeluarkan dari Universitas Paramadina yang pernah dipimpin Anies Baswedan.
Sontak, status Giring Ganesha yang pernah dikeluarkan dari Universitas Paramadina pun dihubung-hubungkan dengan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu.
Pasalnya, Anies Baswedan pernah menjabat sebagai rektor di universitas tersebut pada tahun 2007-2015.
Menanggapi hal ini, Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai apa yang dilakukan Giring Ganesha dalam mengkritik Anies Baswedan memang agak blunder.
"Fenomena Giring Ganesha ketika dia mengkritik Anies Baswedan justru yang terjadi adalah serangan balik kepada Giring Ganesha. Ini agak blunder sesungguhnya, blunder Giring ketika dia menyerang Anies Baswedan dengan harapan dia mendapatkan simpati," kata Refly Harun, dikutip SeputarTangsel.Com dari kanal YouTube Refly Harun pada Rabu, 29 Desember 2021.
Meski begitu, Refly Harun pun mempertanyakan target simpati Giring. Sebab, apabila yang dituju adalah Presiden Jokowi, orang nomor satu di Indonesia itu tidak memiliki hubungan dengan Anies Baswedan.
Menurut Refly Harun, Jokowi bukanlah saingan Anies Baswedan karena tidak akan mencalonkan diri pada Pilpres 2024 mendatang. Kecuali, Jokowi saat ini ingin mewariskan kekuasaannya kepada pihak pro pemerintah.
Menurut Refly Harun, sindiran yang dilontarkan kepada Anies Baswedan justru membuat orang semakin tidak bersimpati kepada Giring Ganesha.
"Tapi sekali lagi, ketika dia katakanlah dalam tanda kutip menyinggung Anies secara terang-terangan seperti itu walaupun dia tidak sebut nama, ya orang ternyata tidak bersimpati. Rupanya gaya politik untuk menyerang seseorang itu tidak memunculkan simpati justru," ujarnya.
Lebih lanjut, Alumni Universitas Fakultas Hukum Gadjah Mada (UGM) itu pun menyinggung gaya politik PSI. Menurutnya, PSI adalah partai solitaire yang memusuhi semua partai politik, termasuk partai-partai pro pemerintah seperti PDIP.
Sementara itu, PSI justru dinilai tidak pernah mengkritik Jokowi yang kedudukannya saat ini ditopang oleh partai politik.
"Langkah-langkah politik PSI sukar untuk ditebak dengan sebuah ukuran atau rasionalitas tertentu. Karena di satu sisi dia menyerang sosok Anies Baswedan, tapi dia juga menyerang DPR sekarang ini. Jadi, seperti partai yang intinya adalah semuanya disentuh, kecuali Presiden Jokowi itu sendiri," jelasnya.
Ia menilai, gaya politik PSI agak blunder dan menduga ada sesuatu di belakang layar yang membuat partai tersebut ngotot untuk terus membela Jokowi.
"Menurut saya, agak blunder juga politik seperti ini, walaupun tentu saja pilihan politik seperti itu pasti ada sejarahnya. Ada something behind the scene yang kita tidak tahu kenapa PSI begitu ngototnya untuk katakanlah berada di sisi Presiden Jokowi dan tidak pernah bersikap untuk kritis. Padahal, mereka belumlah partai yang sukses lolos parliamentary threshold, baru partai yang lolos di daerah-daerah saja," tandasnya.***