HRS Center Minta Partai Pengusung RUU HIP Dibubarkan

20 Juni 2020, 07:47 WIB
Abdul Chair saat Milad Satu Tahun HRS Center di Matraman, Jakarta Timur, Selasa 3 September 2019. /- Foto: Seputartangsel.com/Abdullah Jundi

SEPUTARTANGSEL.COM - Pemerintah diminta mengajukan pembubaran partai pengusung Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) melalui gugatan Mahkamah Konstitusi.

Pengajuan gugatan ini atas dasar pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan yang dilakukan partai politik pengusul RUU HIP, atau dalam bahasa hukum disebut sebagai asas strict liability.

"Pengurus partai politik menggunakan partai politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan terhadap Keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Nomor 27 Tahun 1999 atau didasarkan atas alasan menganut, mengembangkan serta menyebarluaskan ajaran Komunisme/Marxisme–Leninisme," ujar Direktur Habib Rizieq Syihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan dalam rilisnya, Jumat 19 Juni 2020.

Baca Juga: POPULER HARI INI: Lowongan Kerja di PT Angkasa Pura Retail Hingga Aplikasi Bansos Kota Tangerang

Chair pun menilai, dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, pengusung RUU HIP dapat dipidana, karena ada kesengajaan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Adapun bunyi dari UU no 27 Tahun 1999 terkhusus Pasal 107 huruf d, ”Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Baca Juga: Lowongan Kerja PT Angkasa Pura Retail Posisi Staf Budgeting untuk Lulusan S1 Akuntasi

"Undang-undang ini diterbitkan memang secara khusus guna mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari adanya ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umumnya," ungkap Chair.

Chair menjelaskan mengapa pengusung RUU HIP bisa dikenai Pasal 107 huruf d yang tergolong delik formil, artinya tidak memerlukan adanya suatu akibat.

Baca Juga: Update Corona Tangsel 19 Juni 2020: Tambah 20 Sembuh dan 9 Kasus Baru

Menurutnya, hal paling mendasar adalah dengan adanya pengajuan RUU HIP, maka pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara.

RUU HIP dinilai bermasalah karena RUU-HIP menggunakan nomenklatur ’ideologi’.

Baca Juga: Dalam Sehari Tambah 1.041 Kasus Positif Covid-19 di Indonesia

Namun, substansi inti dalam RUU justru memasukkan dasar filsafat negara (philosofische grondslag) dan bahkan melakukan perubahan siqnifikan terhadap Pancasila.

"Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. Keberadaan Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila," ujarnya.

"Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila. Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, 'Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa', akan tergantikan dengan 'Negara berdasar atas Keadilan Sosial'," lanjut Chair.

Baca Juga: 4 Squad Bertanding dalam Mobile Legends MPL Invitation Qualifier Hari Pertama

Menurut Chair, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” Pancasila, dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari kehidupan kenegaraan.

Adapun dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Chair menilai jika terjadi perubahan makna sentral tadi, maka akan ada peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme-Komunisme.

"Kemudian perihal Ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP. Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong," terangnya.

Baca Juga: Belum Dapat Bansos, Warga Kota Tangerang Bisa Daftar Lewat Aplikasi

"Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu bukan menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah Ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan mengubah atau mengganti Pancasila," tambahnya.

Chair pun menilai, perubahan makna seperti di atas pastilah dilakukan secara sengaja yang menunjuk dengan maksud, yakni menghendaki atau mengetahui perbuatan maupun akibatnya.

Baca Juga: Jose Pedraza dan Mikkel LesPierre Batal Bertanding Gara-gara Manajer Josie Taveras Positif Covid-19

"Perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara disederajatkan dengan mengganti. Tindakan mengubah atau mengganti Pancasila menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menunjuk pada perbuatan tindak pidana asal (predicate crime) yakni menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme," tegasnya.***

Editor: Sugih Hartanto

Tags

Terkini

Terpopuler