Mengenal Jingtiu, Agama Asli Suku Sabu NTT, Penginjil Portugis Menyebutnya Genius atau Kafir dan Tak Bertuhan

3 Oktober 2021, 10:49 WIB
Suku Sabu mempunyai aliran kepercayan atau agama asli yang dikenal dengan Jingtiu, Jing Tiu, Jingitiu atau Jingi Tiu. Berasal dari penyebutan Genius yang artinya kafir oleh misionaris Portugis pada tahun penginjilan 1625 /Foto: ida Koten-Floresterkini.com//ida Koten-Floresterkini.com

SEPUTARTANGSEL.COM - Suku Sabu, dikenal juga sebagai Savu, Sawu, atau Hawu di di kampung Namata, Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak dulu dikenal memiliki agama atau kepercayaan setempat.

Agama asli ini dikenal dengan nama yang penulisannya bervariasi: Jingtiu, Jing Tiu, Jingitiu atau Jingi Tiu.

Ini semula adalah sebutan yang disematkan oleh misionaris dari Portugis pada masa penginjilan tahun 1625.

Baca Juga: Sarang Burung Walet Rp20 Juta per Kilogram Ada di Pulau Nuha Belen di Kabupaten Flores Timur

Para penginjil Portugis itu menyebut orang-orang suku Sabu sebagai Genios yang artinya adalah kafir atau tidak bertuhan. Orang Sabu ketika itu melafalkan "Genios" dengan Jingtiu.

Nama Genios atau kafir dan tak bertuhan ini sebetulnya tidak tepat, karena orang Suku Sabu saat itu sudah memiliki Deo Ama sebagai Tuhannya.

Deo Ama yang secara harfiah artinya Dewa Bapak, menurut mereka adalah penggambaran sebagai Sang Maha Kuasa. Tokoh tertinggi, penuh misteri, dihormati sekaligus ditakuti.

Dikutip SeputarTangsel.Com dari Flores Terkini, semula para Mone Ama atau Pemuka Agama tidak memahami arti harfiah dari Genios yangg mereka ucapkan menjadi Jingtiu.

Baru belakangan mereka menyadari artinya adalah kafir atau tak bertuhan. Orang Sabu dan para Mone Ama pun berusaha mengubah nama tersebut.

Namun sudah terlambat. Nama Jingtiu, Jing Tiu, Jingitiu atau Jingi Tiu sudah telanjur melekat sebagai identitas kepercayaan mereka dan orang-orang sudah terbiasa dengan nama Jingi Tiu.

Baca Juga: Miris, Gubernur NTT Gelar Pesta Masa PPKM, Dokter Andi Khomeini: Kalo Kasus Covid Naik yang Disalahin Siapa?

Akhirnya, orang Sabu dan para Mone Ama sepakat menyandang nama tersebut sebagai nama ajaran mereka sampai sekarang.

Bagi orang Suku Sabu, Jingi Tiu adalah penerapan keprcayaan terhadap kehidupan sehari-hari di bawah aturan Uku yang artinya Aturan Adat agar terjadi keseimbangan antara manusia dan alam.

Penyimpangan dari Uku tersebut dapat mengganggu keseimbangan lingkungan dan kehidupan dan menimbulkan krisis dalam kehidupan mereka seperti terjadi kematian yang tidak wajar maupun bencana-bencana yang lainnya.

Suku Sabu juga percaya adanya berbagai makhluk halus yang tingkatannya lebih rendah dari Deo Ama. Makhluk halus tersebut terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:

1. Rai Balla yang menjaga bumi.
2. Dahi Balla yang menjaga laut.
3. Liru Balla yang menjaga langit.

Baca Juga: Awkarin Rayakan HUT RI ke-76 Kibarkan Merah Putih di Dasar Laut Labuan Bajo NTT

Ketiganya mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Seperti mengatur musim hujan, mengatur nira, mengatur musim kemarau, melindungi dan mengembangbiakkan berbagai hewan ternak, menjaga kesuburan tanah, serta menumbuhkan tanaman, dan lainnya.

Selain 3 mahluk halus di atas, Suku Sabu juga mempercayai beberapa mahluk lain yang bertugas untuk melindungi kampung penduduk Suku Sabu.

1. Uli Rae berjaga di sebelah kanan gerbang timur kampung.
2. Maki Rae berjaga di sebelah kiri gerbang timur kampung.
3. Tiba Rae yang artinya penangkis kampung.
4. Aji Rae yang artinya penahan kampung.

Mereka semua berjaga agar menjadi Ngita Nano Ngita Adu yang artinya agar dapat diandalkan dapat keras serta Ngita Kemaki Ri Ngallu Apa yang artinya tahan terhadap serangan angin buruk.

Baca Juga: Ungkap Mahalnya Harga Swab PCR , Yos Nggarang: Selisih Sedikit dengan UMP NTT 2021

Hubungan dan kesatuan antara alam dengan Suku Sabu diterapkan dalam berbagai upacara adat tradisional seperti perlunya mengadakan upacara adat dan sesajen terhadap Rai Balla setelah menggarap usaha tani guna memulihkan tanah yang luka serta agar Rai Balla tidak murka..

Upacara adat tersebut juga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan antara Suku Sabu sebagai manusia, alam, serta dengan kekuatan gaib dari ketiga makhluk halus tersebut yang mereka percayai.

Salah satu keseimbangan yang lain adalah keseimbangan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam suatu rumah tangga.

Keseimbangan lainnya adalah mendatangkan Meringgi dan Menggeru serta dijauhi dari Pana. Meringgi yang artinya dingin memiliki maksud keadaan damai dan sentosa.

Menggeru yang artinya hijau atau subur memiliki maksud kesuburan pada hasil pertanian dan peternakan. Pana yang artinya panas memiliki maksud malapetaka atau bencana yang datang.

Baca Juga: Habib Rizieq Dituntut 10 Bulan Penjara, Nicho Silalahi Bandingkan dengan Kerumunan Presiden Jokowi di NTT

Dewan Mone Ama merupakan dewan adat Suku Sabu yang memimpin jalannya sebagian besar upacara adat serta menetapkan Uku atau peraturan adat yang berlaku di Suku Sabu.

Berikut adalah anggota dari Dewan Mone Ama:

1. Deo Rai merupakan kepala adat dan memegang peranan tertinggi di Mone Ama. Deo Rai bertanggung jawab untuk memimpin seluruh upacara adat. Selain itu Deo Rai secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim hujan.

2. Mau Kia merupakan panglima perang yang bertanggung jawab mengenai kegiatan perang dalam adat Suku Sabu.

3. Pulodo Wadu merupakan pemelihara adat yang bertanggung jawab dalam menjaga Uku atau peraturan adat Suku Sabu. Selain itu, Pulodo Wadu secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim kemarau serta memelihara kesuburan tanah pertanian.

Baca Juga: Kunjungi Gereja di NTT, Sekjen Gerindra Muzani Minta Agamawan Bantu Pulihkan Trauma Masyarakat

Do Heleo merupakan pengawas kampung yang bertanggung jawab dalam mengawasi segala sesuatu di kampung Suku Sabu.
Rue merupakan tokoh yang bertanggung jawab untuk menyucikan atau membersihkan kembali setelah terjadinya penyimpangan dalam kehidupan Suku Sabu.

Adapun bentuk bangunan rumah ibadah berbentuk persegi panjang dengan bagian samping melebar yang berbentuk setengah lingkaran membentuk elips.

Bagian atap rumah ibadah ini sendiri berbentuk perahu terbalik dan dilapisi dengan dedaunan lebat yang mereka sebut sebagai Roukoko yang artinya bulu leher.

Ukuran Roukoko sendiri mengikuti panjang balok bubungan yang disebut Bangngu. Sabu juga memiliki beberapa upacara, yang tetap dilestarikan sampai saat ini.

Upacara itu antara lain:

1. Upacara Dabba Ana merupakan upacara pemandian bayi setelah dilahirkan.

2. Upacara Tali Manu Dabba merupakan upacara adat berupa sabung ayam yang dilakukan selama 2 (dua) hari dalam setahun kalender adat Suku Sabu di sebuah arena yang disebut Dara Nada.

Baca Juga: Akibat Siklon Tropis Seroja di NTT, Vaksinasi Covid-19 Tertunda

Adanya upacara Tali Manu Dabba merupakan respons dari Suku Sabu atas pentingnya Hak Asasi Manusi karena punahnya generasi penerus jika peperangan antar suku terus dilanjutkan.

Oleh karena itu, para leluhur mengganti peperangan antar manusia menjadi peperangan antar hewan yaitu ayam.

3. Upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba merupakan upacara adat dalam menangkap Nyale atau biasa disebut sebagai cacing laut yang hidup di lubang-lubang karang yang terletak di bawah permukaan laut.

Menurut legenda Suku Sabu, Nyale tersebut merupakaan jelmaan dari seorang putri yang terkena penyakit kulit dan berubah menjadi cacing laut ketika mencari ikan bersama ibunya di laut.

Ketika berubah menjadi Nyale, putri tersebut berkata pada ibunya akan muncul pada waktu tertentu dan tidak akan menampakkan diri jika terdapat perempuan hamil, perempuan menyusui, perempuan yang tengah datang bulan, serta orang tua yang anaknya belum dimandikan dalam upacara Dabba Ana.

4. Upacara Pemau Do Made merupakan upacara penyucian arwah orang yang sudah meninggal sebelum berangkat menuju nirwana atau surga. Upacara adat Pemau Do Made dilaksanakan selama 3 (tiga) hari secara berturut-turut.

5. Pada hari pertama keluarga dari orang yang telah meninggal saling berkumpul. Dari pihak laki-laki bertugas membawa hewan ternak seperti kambing atau babi beserta pangan lain seperti padi, kacang hijau, dan sorgum sementara pihak perempuan mengumpulkan bahan-bahan tersebut.

Baca Juga: Dikritik karena Timbulkan Kerumunan Saat di NTT, Ferdinand: Sekelompok Orang Mencari Kesalahan Pak Jokowi

Artikel ini telah tayang di Flores Terkini dengan judul: "Jingtiu atau Jingi Tiu sebagai Agama Asli dari Kampung Namata, Kabupaten Sabu Raijua, Pulau Sabu, NTT"

Pada hari kedua keluarga tersebut akan berpakaian berwarna putih kemudian keluar berkeliling kampung sembari menyanyi nyanyian adat diiringi tangisan ratapan menuju tempat pembuangan.

Setelah sampai di tempat pembuangan tersebut, mereka semua nantinya disucikan kembali menggunakan asap dupa dan air. Pada hari ketiga dimulailah penyembelihan seluruh hewan ternak yang telah disediakan di hari pertama.

Seluruh hewan ternak tersebut disembelih sebagai persembahan di sebuah tempat yang disebut Pai. Nantinya sisa dari hewan ternak yang belum disembelih akan disembelih untuk dibagikan ke seluruh masyarakat Suku Sabu.

6. Upacara Bui Ihi Hole merupakan upacara yang dilaksanakan dalam rangka mengungkapkan rasa syukur terhadap hasil panen yang telah diperoleh.*** (Ade Riberu/Flores Terkini)

Editor: Sugih Hartanto

Tags

Terkini

Terpopuler