Ichsanuddin Noorsy Sebut Struktur Perekonomian Indonesia Rapuh, Simak 3 Indikatornya

9 Agustus 2020, 14:35 WIB
Ichsanuddin Noorsy menjelaskan betapa lemahnya perekonomian di Indonesia. /-Foto: Tangkapan layar channel YouTube Refly Harun

SEPUTARTANGSEL.COM - Ekonom sekaligus pengamat politik Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan bahwa perekonomian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Hal ini menyusul pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus sampai 5,32 persen sehingga membuat Indonesia jatuh ke dalam jurang resesi teknikal.

Melalui video YouTube berjudul 'DIALOG DAHSYAT DENGAN ICHSANUDDIN NOORSY: POLITIK EKONOMI HUKUM DILIBAS (1)' yang diunggah Sabtu 8 Agustus 2020, Ichsanuddin menjelaskan gambaran yang paling mudah menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sedang rapuh.

Baca Juga: Apple Diserbu Petisi Gara-gara Serang Usaha Kecil yang Memakai Logo Buah Pir

Menurutnya, nilai tukar dolar yang terus menguat terhadap rupiah dari tahun ke tahun sudah cukup memberi sinyal kalau struktur perekonomian Indonesia rapuh.

"Kalau saya ambil data nilai tukar, anda kebayang gak dari 1 dolar sama dengan Rp372, naik Rp415, naik ke Rp600, naik ke Rp800, ke Rp1.000, dan sekarang Rp14.500-an. Apa artinya? Artinya kita melemah terus, dalam bahasa sederhana struktur perekonomian kita rapuh," tutur Ichsanuddin Noorsy kepada pakar hukum tata negara Refly Harun.

Selain itu, pria berusia 61 tahun ini mengungkapkan beberapa indikator yang menyebabkan perekonomian Indonesia serapuh itu.

Baca Juga: Jadi Destinasi Wisata Unggulan, Ridwan Kamil Yakin Pangandaran Akan Pulih Pasca Pandemi

Indikator pertama yang Ichsanuddin sebut adalah fungsi uang yang bisa menunjukkan kondisi perekonomian suatu negara.

"Uang bukan sekadar alat tukar,uang bukan sekadar alat penyimpanan, uang bukan sekadar alat pengumpul kekayaan, uang bukan sekadar alat untuk yang namanya beli pembayaran-pembayaran lain, tapi uang juga sebagai alat untuk bicara bagaimana struktur perekonomian di suatu negara. Nah itu indikator pertama," jelasnya.

Selanjutnya, Ichsanuddin Noorsy menambahkan indikator kedua. Dia pun menyinggung kedaulatan energi masa kini dengan era Orde Baru.

Baca Juga: Gara-gara Pacar Ditegur Tak Pakai Masker, Pria Ini Tinju Kakek Veteran Perang

"Indikator kedua energi. Kalau di era Orde Baru kita pernah punya minyak sampai dengan 1,5 juta barel per hari, turun jadi 1,3 juta, 1,2 juta, 1,1 juta, dan sekarang cuma 700 sampai dengan 800 ribu, itu ancamannya bukan cuma sekadar ancaman kedaulatan energi kita terganggu, ketahanan energi kita juga rapuh," kata alumnus Universitas Airlangga itu.

Terakhir, menurut Ichsanuddin, indikator ketiga adalah impor yang dilakukan oleh Indonesia.

Contoh paling gampangnya ketika Indonesia terus menerus mengimpor beras dan garam. Hal tersebut membuat Ichsanuddin miris.

Baca Juga: POPULER HARI INI: Akhir Pekan Banyak yang Cari Info Jadwal Acara TV Hingga Harga Emas Antam

"Yang ketiga kalau kita terus menerus impor beras, itu juga menggambarkan kita rapuh. Misalnya gula, kedelai, dan garam yang terakhir kita impor dari luar," ucapnya geram.

"Anda bayangkan Indonesia sebagai negara garis pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) itu kita impor garam sampai jutaan ton," lanjut Ichsanuddin.

Dengan demikian, ketiga indikator tersebut membuktikan kalau perekonomian Indonesia jelas sedang tidak baik-baik saja.

Baca Juga: Dekat dengan Presiden Klub, Andrea Pirlo Ditunjuk Jadi Pelatih Juventus Usai Sarri Dipecat

"Semua indikator itu menggambarkan betapa lemahnya perekonomian kita. Padahal di saat yang sama investasi asing berbondong-bondong ke sini. Jadi kalau kita lihat semua indikator itu saya ingin mengatakan fundamental makro kita fluktuatif ke bawah dan rapuh," pungkasnya.***

Editor: Adhyasta Dirgantara

Tags

Terkini

Terpopuler