“Sebenarnya tujuan utama kami adalah mancing ikan. Tapi kami singgah untuk lihat-lihat gua itu,” tambahnya.
Bertolomeus Muda berkisah lebih jauh, di bagian dalam gua terdapat bebatuan cadas yang besar dan ada beberapa lubang atau mulut gua.
Situasi gua yang gelap dan sedikit menantang tak membuat mereka takut, karena mereka yakin pulau itu bagian dari tuturan sejarah nenek moyang mereka.
“Jadi kita hati-hati masuk ke dalam. Gelap sekali. Kita harus pakai senter. Batu-batu besar. Lubang besar itu sampai ke dasar,” katanya.
Selain situasinya agak gelap, ketika mereka menjelajahi isi gua, mereka harus mengutus seseorang untuk menjaga mulut gua.
Soalnya, gua itu hanya boleh dimasuki saat air laut surut. Saat air laut sudah mulai pasang, sang penunggu itu segera memberitahukan teman-temannya untuk pulang.
Di sekitaran mulut gua itu, kata Muda, ada sarang burung walet, juga beberapa reptil lainnya seperti ular.
Kalau mereka menemui sarang burung walet maka mereka akan mengambilnya dan membawanya pulang untuk dimasak dicampur dengan bubur.
“Kalau di Flores Timur, pemasarannya ‘kan kita tidak tahu. Jadi ada yang bawa pulang dicampur bubur dan dimakan. Khasiatnya menyembuhkan berbagai penyakit. Setahu saya di daerah lain, satu kilo harganya 20-an juta,” ujarnya.