SEPUTARTANGSEL.COM - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden secara resmi menetapkan, bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan Myanmar kepada muslim di Rohingya sebagai genosida.
Hal yang melanggar hak asasi manusia dan merupakan kejahatan kemanusiaan.
Penetapan Myanmar telah melakukan genosida terhadap Rohingya akan diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Antony Blinken, hari ini Senin 21 Maret 2022 di Museum Peringatan Holocaust AS di Washington.
Baca Juga: Pengungsi Rohingya Gugat Facebook 150 Miliar Dolar AS atas Kekerasan di Myanmar
Penetapan AS tentang kejahatan perang yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya terjadi setelah pejabat dan firma hukum luar mengumpulkan bukti baru di era Joe Biden.
Menteri Luar Negeri sebelumnya, Mike Pompeo menolak untuk membuat keputusan genosida oleh Myanmar. Namun, Blinken memerintahkan analisis hukum dan faktual tersendiri.
Analisis menyimpulkan, tentara Myanmar melakukan genosida. Washington bertekad akan meningkatkan tekanan internasional untuk meminta pertanggungjawaban Junta Militer.
"Ini akan mempersulit mereka untuk melakukan pelanggaran lebih lanjut," ujar seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS dilansir SeputarTangsel.Com dari Reuters, Senin 21 Maret 2022.
Sampai saat ini belum ada konfirmasi dari Pemerintah Militer Myanmar yang mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021.
Sebelumnya, mereka sudah membantah melakukan genosida pada Rohingya. Pemerintah mengatakan, operasi militer yang dilakukan pada tahun 2017 adalah penumpasan teroris.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2018 sudah menyimpulkan, bahwa kampanye militer Genosida termasuk tindakan genosida.
Namun, saat itu AS menyebutnya sebagai 'pembersihan etnis' sebagai istilah yang tidak memiliki definisi hukum.
Penetapan resmi Myanmar menjalankan genosida oleh Pemerintah AS, memberi sinyal kepada dunia, peristiwa yang terjadi harus ditanggapi segera.
"Ini benar-benar memberi sinyal kepada dunia dan terutama kepada korban dan penyintas dalam komunitas Rohingya dan secara lebih luas, bahwa Amerika Serikat mengakui gawatnya apa yang terjadi," pungkas pejabat senior Departeman Luar Negeri AS. ***