Tolak Kenakan Dasi, Politisi Suku Maori Dikeluarkan dari Parlemen Selandia Baru

11 Februari 2021, 11:56 WIB
Wakil pemimpin Partai Maori Rawiri Waititi berbicara di Wellington, Selandia Baru, 9 Februari 2021 dalam tangkapan layar yang diambil dari video ini. Video diambil 9 Februari 2021. /Foto: TVNZ/Handout via REUTERS TV/

SEPUTARTANGSEL.COM - Seorang politisi dari suku Maori dikeluarkan dari gedung parlemen Selandia Baru setelah menolak mengenakan dasi di dalam ruangan. Ia mengatakan bahwa memaksa dirinya menuruti dress code barat adalah sebuah pelanggaran haknya dan adalah sebuah upaya untuk memadamkan budaya pribumi.

Ketua dewan Trevor Mallard sebanyak dua kali mencegah Rawiri Waititi mengajukan pertanyaan di ruang debat pada hari Selasa, 9 Februari 2021, bersikeras bahwa hanya anggota parlemen berdasi yang dibolehkan mengajukan pertanyaan.

Waititi, politisi berusia 40 tahun yang pertama kali menjadi anggota parlemen di pemilihan bulan Oktober 2020 lalu terlihat mengenakan Taonga, kalung batu hijau khas Suku Maori.

Baca Juga: WHO Tidak Temukan Bukti Virus Corona dari Wuhan, Cina Sebut dari Asia Tenggara

Baca Juga: Jokowi Salahkan Pemda dalam Penanganan Covid-19 Karena Hal Ini

Ketika ia melanjutkan pertanyaannya setelah dihentikan berulang kali, Mallard memerintahkan Waititi untuk meninggalkan ruangan.

"Ini bukan soal dasi, ini tentang identitas budaya," kata Waititi sembari meninggalkan ruangan.

Mallard mengatakan meskipun menurutnya dasi adalah suatu hal yang ketinggalan jaman, sebagian besar anggota parlemen meminta agar peraturan mengenakan dasi tetap dipertahankan.

Insiden ini memunculkan debat mengenai kolonialisme di Selandia Baru, memicu kemarahan dari berbagai penjuru dunia dengan hashtag #no2tie yang segera trending di Twitter.

Baca Juga: Kompetisi Liga Sepak Bola Indonesia Siap Digelar, Ini Syaratnya

Baca Juga: Tingkatkan Tracing Covid-19, Kementerian Kesehatan Perbanyak Tes Antigen di Puskesmas

Kepada Reuters di hari Rabu Waititi merasa tidak terkejut dengan perlakuan ketua dewan, sebagaimana masyarakat suku Maori telah menghadapi perlakuan serupa selama ratusan tahun lamanya.

"Suku Maori belum diperlakukan secara setara di dalam negaranya sendiri dan masyarakat pribumi di seluruh dunia telah mengalami diskriminasi karena sistem yang rasis yang membuat orang-orang kami tetap berada di urutan kedua," katanya.

"Tali jerat telah dibebaskan dari leher kami, dan kami sekarang dapat menyanyikan lagu-lagu kami," ungkap Waititi di wawancaranya.

Parlemen Selandia Baru saat ini adalah parlemen terpilih yang paling inklusif sepanjang sejarah negaranya. Sebanyak setengah dari 120 kursi di parlemen dipegang oleh wanita.

Terdapat 11 persen representasi dari golongan LGBTQI dan 21 persen dari suku Maori. Dari pemilihan ulan Oktober lalu terpilih anggota parlemen pertama yang berasal dari Afrika dan Sri Lanka.

Baca Juga: Anies Klaim Kemacetan di Jakarta Berkurang, Ferdinand Hutahaean: Bukan karena Kinerja, tapi Covid!

Baca Juga: Pemakaian Tempat Tidur ICU dan Isolasi Pasien Covid-19 Menurun, Dinkes DKI Jakarta: Penurunan Cukup Signifikan

Namun bagi Waititi, masih ada rasisme tersistematis di Selandia Baru karena dampak kolonisasi di masa lalu.

Mayoritas penghuni penjara, anak yang dirawat oleh negara, kemiskinan dan pengangguran di Selandia Baru adalah warga Suku Maori.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan ia tidak memiliki opini kuat pada insiden ini, dan tidak menentang siapapun yang tidak mengenakan dasi di parlemen.

"Ada banyak isu yang lebih penting untuk kita bahas," kata Ardern.***

Editor: Ihya R. Azzam

Tags

Terkini

Terpopuler